Jumat, 09 September 2011

Plontos: Sebuah Filosofi

Justru bagi siswa yang memplontos kepalanya tanpa tujuan yang jelas adalah sesuatu yang terlarang, bahkan dapat terkena point. Hal ini tentu dimaksudkan agar filosofi gundul yang berarti membersihkan jiwa dapat diterima, paling tidak untuk sebuah opini publik di kawasan pesantren. Memang, tak dapat dipungkiri jika suatu saat ada siswa (santri) yang keluar dari kamar asrama dan berkepala plontos, dapat diduga ia telah melakukan sebuah pelanggaran. Cara memprosesnya pun bermacam-macam, ada yang diadili ramai-ramai di tengah lapangan dan satu persatu siswa disuruh ikut ambil bagian untuk memplontos kepala si pesakitan (hmm..cukup kejam memang, tapi ini sangat efektif untuk memberikan sebuah pelajaran agar tak melanggar tata tertib), atau mungkin saja ada Ustadz yang berbaik hati meluangkan waktunya untuk menjadi tukang cukur dadakan. Ada dua hal penting di sini. Yang pertama harus digarisbawahi adalah kepala plontos berarti upaya untuk membersihkan jiwa, bukan berarti untuk mengecap santri berkepala plontos sebagai seorang pesakitan. Yang kedua, kalaupun memang upaya men-jerakan santri dengan membabat habis rambutnya adalah sebuah hukuman, tentu bukan semata-mata hukuman, tetapi lebih kepada filosofi dari proses pengundulan itu sebagai upaya membersihkan diri dari dosa.


Plontos pun sering digunakan sebagai pelabuhan akhir dari sebuah nazar. Banyak contohnya, misalnya beberapa aktivis KPK yang ramai-ramai memlontos kepalanya karena mengetahui Nazaruddin telah ditangkap dan dikeluarkan dari Partai Demokrat. Atau para tim sukses di pemilukada yang juga merelakan rambutnya dibabat karena jagoannya menang dalam pemilukada. Jika dicermati, gejala sosial ini terjadi dikarenakan beberapa sebab. Yang pertama, masyarakat masih memandang bahwa rambut adalah mahkota yang sebisa mungkin dijaga, dan karena begitu berharganya maka orang pun sampai rela menggadaikan sesuatu yang berharga itu jika impiannya terwujud. Yang kedua, gundul dapat dikatakan sebagai sebuah perefleksian dari “kelegaan” yang harus ditunggu sekian lama. Banyak contoh, misal “jika aku sudah selesai skripsi, aku mau botakin kepala”, “kalo aku bisa dapet beasiswa ke luar negeri aku mau plontos”, dan lain sebagainya.

Plontos pun dapat diartikan sebagai sebuah kedewasaan. Bukan sebuah keterpaksaan manakala ada seorang lelaki yang harus membabat rambutnya karena bagian depan sudah tampak menipis. Tentu tak usah khawatir. Banyak ahli yang merilis penelitiannya bahwa lelaki yang rambutnya rontok salah satunya dikarenakan hormon testosteron yang berlebih. Maka tak heran, lelaki yang berambut tipis lebih memiliki “inner” yang tak dimiliki oleh lelaki pesolek. Yup, okay, kita sekarang berbicara tentang masalah kejantanan. Lelaki yang “high quality” tentu tak direpotkan oleh masalah rambut (opini subjektif hihihi). Lihat, jarang kan melihat pemain bola yang berambut gondrong?


Memang masyarakat masih memandang plontos sebagai sebuah “hukuman”. Hal ini tak terlepas dari gejala-gejala sosial yang terjadi. Misalnya saja ada pemuda yang tertangkap mencuri lantas digundul. Atau seorang narapidana yang baru masuk bui biasanya juga diplontos. Anak-anak yang menginap di panti rehabilitasi juga sebagian besar dibabat habis rambutnya. Akan tetapi, mengunduli kepala tentu memiliki sebuah makna yang mendalam yaitu sebuah pembersihan jiwa, putih bersih seperti bayi yang juga berkepala gundul.


Sekarang pun lelaki berkepala gundul tampaknya sudah menjadi tren tersendiri karena akan terlihat lebih fresh. Bahkan kalau Anda lelaki yang baru saja menikah, tampaknya berkepala plontos dapat memudahkan Anda untuk mandi junub.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...