Selasa, 14 Januari 2020

MENUMBUHKAN JIWA KEWIRAUSAHAN SOSIAL MELALUI PROGRAM “MANGROVE FOR LIFE” DI SEKOLAH INKLUSI

MENUMBUHKAN JIWA KEWIRAUSAHAN SOSIAL MELALUI PROGRAM “MANGROVE FOR LIFE” DI SEKOLAH INKLUSI
Authors
Dwitya Sobat Ady Dharma
Publication date
2015/11/24
Conference
Simposium Nasional Riset Pendidikan II tahun 2015 “Guru Transformatif untuk Pendidikan yang Lebih Baik”

Pendidikan Inklusi Untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus : Diintegrasikan Belajar Di Sekolah Umum Buku Pendidikan Inklusif Untuk ABK ISBN 9789792961683



#PendidikanInklusif ( #SekolahLuarBiasa ) merupakan terobosan baru dalam #DuniaPendidikan yang menjadi angin segar bagi para #AnakBerkebutuhanKhusus , yaitu sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus diberikan akses untuk bersekolah di #SekolahUmum . Mereka akan duduk dalam atap #PendidikanRegular , diajar oleh guru-guru sekolah umum, dan berkawan dengan anak-anak normal lainnya. Eh ?? Yang benar saja, nih ?? Bagaimana #dinamika , #kesulitan , sampai keberhasilan anak-anak dengan kekurangan tertentu bisa berhasil menembus pendidikan di #SekolahNormal ?? #PenulisBuku #PendidikanInklusi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus ( #StellaOlivia) telah merangkumkannya untuk anda. Bersama beberapa #narasumber #inspiratif, #penulis berhasil memberikan angin segar untuk para #orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Narasumber inspiratif : • Ibu Safrina Rovasita, Penyandang celebral palsy yang mendedikasikan diri menjadi guru SLB. • Bapak Dwitya Sobat Ady Dharma, Guru bayangan di saebuah sekolah inklusif. • Adhitiya Anna, Gadis gangguan bicara dan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler dan berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya hanya dalam waktu 3,5 tahun. #BukuABK ini berisi : Pendidikan inklusi dan tantangannya, Kisah anak-anak dengan pendidikan inklusi, Masalah dan penanganan dalam pendidikan inklusi, Kisah sukses anak-anak dengan pendidikan inklusi.


Image result for dwitya sobat ady guru bayangan

“Sobat” bagi Siswa Down Syndrome

Dwitya Sobat Ady Dharma (27) atau yang akrab dipanggil Sobat, merupakan guru di SMP Tumbuh yang juga aktif dalam menulis dan komunitas kesehatan. Di sekolah yang menerapkan prinsip inklusi dan menekankan pentingnya menghargai perbedaan, Sobat memenuhi panggilan hatinya. Sobat menjadi wali kelas sekaligus “guru bayangan” (red: guru pendamping khusus) bagi Mirza (17), seorang siswa dengan Down Syndrome. Saat ini Mirza duduk di SMP kelas sembilan. Berbagai pengalaman seru dan berkesan telah mereka alami dalam tiga tahun ini. Sebagai guru, Sobat merasa ia tidak hanya mengajar, namun juga memperoleh berbagai pelajaran kehidupan dari Mirza. Berikut wawancara tim pijarpsikologi.org dengan Sobat.

selengkapnya silakan baca di 
https://pijarpsikologi.org/sobat-bagi-siswa-down-syndrome/

Pengembangan Buku Ajar “SOBAT" untuk Meningkatkan Keterlibatan Anak Tunagrahita dalam Pembelajaran di Sekolah Inklusi

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan buku ajar berbasis kontekstual yang layak dalam rangka meningkatkan keterlibatan ATG di sekolah inklusi dan mengetahui keefektifan buku ajar. Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan model Borg & Gall yang mencakup 9 langkah kegiatan. Subjek penelitian uji coba yakni 17 ATG ringan di sekolah inklusi. Kelayakan produk buku ajar divalidasi oleh 2 orang ahli materi dan 3 orang ahli media. Uji efektivitas dilakukan dengan membandingkan skor post-test dan pre-test subjek setelah menggunakan buku ajar. Pengumpulan data yang digunakan yaitu tes kemampuan membaca pemahaman, wawancara, dan lembar observasi yang dianalisis dengan statistik deskriptif. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: (1) dihasilkan produk buku ajar “SOBAT” berbasis kontekstual yang layak digunakan dalam pembelajaran untuk meningkatkan keterlibatan kognitif, afektif, dan psikomotor. Bentuk keterlibatan kognitif berupa peningkatan kemampuan membaca pemahaman, keterlibatan afetif dan psikomotor berupa reaksi emosi dan perilaku positif. Buku ajar berisi materi menangkap arti kata dan ungkapan yang digunakan, menangkap makna tersurat dan makna tersirat, serta membuat kesimpulan yang disajikan dengan tahapan REACT (relating, experiencing, applying, cooperating, transfering). Rerata skor yang diperoleh dari ahli materi sebesar 4, 23 (Sangat Baik) dan ahli media sebesar 3,88 (Baik). (2) Keefektifan buku ajar berdasarkan analisis skor pre-test (47,76%) dan post-test (56,76%). Rata-rata peningkatan sebesar 22,41% dengan persentase ketuntasan sebesar 82,35 %. Kata kunci: buku ajar, pendekatan kontekstual, keterlibatan, tunagrahita.

Jurnal Difabel Vol. 4/2018: Difabilitas & Desa (Desa dan Pembangunan Inklusif)

DWITYA SOBAT ADY DHARMA

Jurnal Difabel Vol. 4/2018: Difabilitas & Desa (Desa dan Pembangunan Inklusif)
cover buku jurnal difabel  vol 4
Desa merupakan organisasi terkecil dalam sistem tata kelola pemerintah negara. Untuk mengatur tata kelola pemerintahannya, negara menyusun Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sebagian besar dari regulasi tersebut mengatur tentang alokasi dana desa, yang sekitar tujuh puluh persennya untuk pembangunan infrastruktur dan tiga puluh persen sisanya diperuntukkan untuk pemberdayaan mayarakat. Dalam implementasinya, difabel merupakan bagian dari masyarakat yang terabaikan kebutuhannya, baik infrastruktur maupun pemberdayaannya.
Untuk mengakomodir kebutuhan difabel akan kebutuhannya terkait aksesibilitas infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat, maka difabel harus terlibat sebagai subyek pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah merupakan hal yang mudah. Banyak difabel yang bermukim di desa, namun desa pulalah yang sering menjadi tempat peminggiran dan diskriminasi bagi difabel.
Meskipun demikian, bukan berarti melibatkan difabel sebagai subyek pembangunan tidak dapat diwujudkan. Saat ini telah banyak lembaga yang mempunyai program terkait pelibatan dalam subyek pembangunan. 
Jurnal diulas oleh penulis:
  1. M Rizal D.I. M.Sc (UGM - Yogyakarta)
  2. Edy Supriyanto (Sehati - Sukoharjo)
  3. Muhammad Karim Amrullah, S.H (PPDI Sleman )
  4. Karel Tuhehay (Yayasan Karina Kas - Yogyakarta)
  5. Tunjung Atika Fahmi (UGM - Yogyakarta)
  6. Dwitya Sobat Ady Dharma (UNY - Yogyakarta)

  7. Tenti Novari Kurniawati (Perkumpulan IDEA)

Yang berminat silahkan hubungi kontak person:
Telp: 0274 2840056
email: sekretariat@sigab.or.id
Halaman : x - 147
Ukuran : 16 x 24 cm
Cover : Softcover
ISBN : 9-772460-603008
Edisi: 1- 4 - 2018
Harga : Rp 50.000,-
Belum termasuk ongkos kirim,
SIGAB memakai paket JNE

The implementation of Self-Assessment of Student with Special Educational Needs at Inclusive School

Authors
Dwitya Sobat Ady Dharma, Hermanto Hermanto
Corresponding Author
Dwitya Sobat Ady Dharma
Available Online April 2019.

Keywords
self-assessment, SEN, inclusive school
Abstract
This research aims to find out the implementation of self-assessment and ability of self-assessment of student with special educational needs (SEN) at inclusive school. This research applies study-case approach to 10 SEN with mental retardation variation, autism, muscular dystrophy, slow learner, and low vision in semester 2 in 2017/2018 school year in Tumbuh High School (THS). This article defines the implementation and ability of self-assessment of SEN viewed from aspects of attitude, motivation, anxiety, concentration, time-management, self-assessment, and searching of learning source. The research results shows that the ability of self-assessment is quite varied since THS applies the medium self-assessment with project strategy adapted from International Middle Years Curriculum (IMYC).
Open Access
This is an open access article distributed under the CC BY-NC license.
 full paper downlload di:
 https://www.atlantis-press.com/proceedings/icsie-18/55917547


DOI
https://doi.org/10.2991/icsie-18.2019.29

ANALISIS KUALITAS RENCANA PROGRAM PEMBELAJARAN BERBASIS UNIVERSAL DESIGN FOR LEARNING PADA MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


Dwitya Sobat Ady Dharma
 
Seringkali ditemui RPP yang tidak mengakomodasi perbedaan siswa, penggunaan media yang tidak aksesibel bagi semua, RPP yang kurang kontekstual, kurang mendukung semua pembelajar, dan kurang melakukan kolaborasi. Terkait dengan berbagai fakta di atas, permasalahan kinerja guru terutama dalam pembuatan RPP menjadi menarik untuk dibahas karena sukses tidaknya pembelajaran yang inklusif salah satunya tergantung dari kualitas RPP. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi dengan mixed method. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus, karena yang dikaji adalah sejumlah subjek yang memiliki kekhasan, kejadian sesuatu, kondisi aktual dari keadaan atau situasi. Data yang digunakan adalah empat RPP yang ditulis oleh guru Tumbuh High School (THS) yang mengampu mata pelajaran Sejarah, Geografi, IPS, dan PKn. RPP tersebut dianalisis untuk mengetahui kualitas dalam hal kelengkapan komponen RPP, kesesuaian antar komponen RPP, kelayakan tujuan pembelajaran, perumusan tujuan pembelajaran, pemilihan dan pengorganisasian materi ajar, kelayakan kegiatan pembelajaran, pemilihan sumber belajar, kelayakan penilaian hasil belajar. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian, kualitas RPP 1 tergolong baik dengan skor 71,15%, kualitas RPP 2 tergolong sangat baik dengan skor 86,61%, kualitas RPP 3 tergolong sangat baik dengan skor 96,15%, dan kualitas RPP 4 juga tergolong sangat baik dengan total skor sebesar 76,92%. Keempat RPP tersebut secara umum telah sesuai dan mengikuti kaidah dari prinsip UDL, yaitu mempertimbangkan representation,
action & expression, dan engagement.


download full paper di link berikut ini

http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/khazanah/search/authors/view?firstName=Dwitya%20Sobat%20Ady&middleName=&lastName=Dharma&affiliation=&country=

ANAK TIRI MEDIA TUNANETRA

Ketunanetraan yang disandang oleh seseorang berdampak langsung pada kemampuannya untuk mengakses informasi. Ketunanetraan mengakibatkan keterbatasan dalam variasi pengalaman, kemampuan dalam bermobilitas, kemampuan melakukan sesuatu, dan mengontrol lingkungan sekitar. Secara umum ketunanetraan tidak secara otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Tilman dan Osborne (2003) membandingkan antara anak tunanetra dan non-tunanetra, menunjukkan anak tunanetra dapat mempertahankan pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintregasi dengan pengalaman lainnya. Hal ini pun diperparah dengan minimnya fasilitas untuk tunanetra dalam mengakses informasi. Media  yang ada tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas.
       Fungsi indra penglihatan ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan media agar aksesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya pengelolaan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan media belajar orang-orang biasa. Namun demikian ada hal-hal khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan penyandang tunanetra.
       Salah satu layanan yang diharapkan ada yaitu layanan yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Tujuan layanan ini dapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai literasi dan memberikan alternatif dalam mewujudkan tunanetra berwawasan.Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilkan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, maupun Telesensory. 
        Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga menerjemahkan kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
        Beberapa alat bantu yang telah berkembang belum dapat dinikmati secara merata. Kendalanya sangat beragam, mulai dari tingkat sosial ekonomi, kebutuhan akan literasi yang beragam, keterbatasan alat yang didistribusikan, sampai tingkat kepedulian masyarakat yang rendah. Media pembantu ini pun semakin tidak populer di masyarakat karena masyarakat belum menjadikan penyandang tunanetra sebagai bagian dari penerima berita dan informasi. Sudah menjadi rahasia umum jika penyandang tunanetra menjadi komunitas yang termarjinalkan di Indonesia. Pemerintah sangat tidak peduli akan kebutuhan akses informasi yang aksesibel oleh mereka. Masih segar dalam ingatan, seorang tunanetra yang ditolak oleh sebuah bank saat akan mendaftarkan dirinya sebagai pengguna ATM. Peristiwa ini seakan menjadi bukti daftar panjang ketidakpedulian para pemangku jabatan terhadap pemenuhan hak-hak difabel.  Padahal menurut data di tahun 2012, terdapat lebih dari dua juta penyandang tunanetra di Indonesia, baik tunanetra total maupun low vision.
        Sebagai negara yang menghormati hak-hak sipil warga negara, seharusnya berbagai layanan dapat diterapkan di berbagai lini media sehingga dapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Sudah saatnya penyandang tunanetra tidak dianaktirikan dan diberikan kesempatan untuk dapat mengakses berbagai macam media. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan layanan berbasis teknologi sehingga penyandang tunanetra dapat sejajar dengan warga negara lain.
Dwitya Sobat Ady Dharma, Alumni Pascasarjana Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta

MEREKA YANG TERLUPAKAN: NASIB DRAMATIS PENYANDANG TUNANETRA DI NEGERI GEMPA

Kejadian tak diinginkan saat bencana sebetulnya bisa diminimalisasi jika tunanetra punya kemampuan menyelamatkan diri. Ini penting karena kebanyakan dari difabel belum mengetahui apa yang harus dilakukan ketika gempa berlangsung. Sedikit merefleksi gempa Jogja tahun 2006 lalu, tak sedikit korban yang merupakan difabel. Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan pelayanan yang mengarah pada pengembangan aksi tanggap darurat yang menitikberatkan pada kemandirian difabel saat gempa terjadi.
Memperbincangkan Indonesia dan gempa sangat berkaitan dengan letak geografisnya yang berada dalam jalur ring of fire. Negeri kita ini terletak pada pertemuan tiga lempeng kulit bumi aktif, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bersinggungan sehingga Lempeng Indo-Australia menghujam ke bawah Lempeng Euro-Asia. Gempa tak jarang menimbulkan banyak korban, baik seseorang yang sudah mengalami difabel maupun seseorang yang menjadi difabel karena gempa melanda.
Persoalan lain yang cukup penting adalah kenyataan bahwa negeri kita ini minim sistem peringatan dini dan sistem evakuasi bencana alam yang aksesibel terhadap difabel. Di tengah keadaan yang tak mendukung ini, masih saja diwarnai dengan tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk merehabilitasi yang merengkuh ranah secara holistik, misalnya ekonomi dan sosial. Hal ini pun diperparah dengan tidak adanya tim mitigasi yang difokuskan untuk menangani penyandang tunanetra dan kelompok rentan lainnya. Yang paling mengkhawatirkan, dalam penelitian Saru Arifin (2008),[i] selama ini kebijakan mitigasi bencana sejak awal proses penanggulangan korban bencana menggunakan paradigma masyarakat secara normal. Sementara bagi kaum difabel, hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok swasta.
Diskriminasi pun kerap mewarnai dalam proses evakuasi misalnya menempatkan mereka pada kelompok terakhir dalam penanganannya. Gempa bisa datang kapan saja. Gempa pun seringkali memakan korban yang cukup banyak. Parahnya, tunanetra merupakan salah satu pihak yang rentan karena mereka sering terlupakan saat penyelamatan. Banyaknya korban tunanetra sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaktahuan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, sebelum gempa, saat dan sesudahnya. Dengan adanya informasi yang tepat, kita sebetulnya dapat mengurangi risiko bencana kepada difabel dengan cara memperluas akses penyelamatannya. Langkah pemecahan strategis dapat dilakukan dengan menyentuh tiga dimensi, yaitu secara individual, kultural, dan struktural. Secara individual, dapat dilakukan dengan pemahaman akan keselamatan diri dengan pelatihan. Pelatihan dikatakan kontekstual dengan tunanetra apabila sesuai dengan karakteristiknya. Penerapan pendekatan kontekstual dalam training O&M dilakukan dengan cara mengaitkan konten training dengan situasi dunia nyata untuk membuat hubungan antara pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. Proses memahamkan makna konten yang dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan dan lingkungan sekitarnya.
Training pun dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi yang joyfull dan problem based instruction (training berbasis masalah). Training ini akan dibuat menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang dapat membuat tunanetra berpikir logis dan mampu mengeluarkan ide-idenya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tutor harus mampu mengembangkan organisasi instruksional termasuk di dalamnya kemampuan menyelidiki sumber belajar dan seleksi untuk penerapan instruksional, di samping penguasaan konten. Konten yang diajarkan dapat berupa pendidikan siaga bencana yang berisi kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana, sehingga tercipta kesiapsiagaan dan tanggap darurat dalam menyelamatkan diri.
Dalam konteks kultural, eksistensi tunanetra yang semakin tenggelam dalam program keselamatan tidak hanya dilihat semata-mata dari keadaan tunanetra sendiri. Kondisi tunanetra yang semakin terpuruk ini justru lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial yang terkait partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi. Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat.[ii] Padahal, difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial.
Oleh karena itu, memperluas akses aktualisasi prestasi penyandang tunanetra hal yang mutlak dilakukan. Akibatnya, tunanetra semakin eksis dalam proses sosial kemasyarakatan. Dalam dimensi struktural, masyarakat harus aktif dalam advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada penyandang tunanetra. Apalagi permasalahan kecacatan kini tak lagi dipandang dalam dimensi kesehatan, namun lebih ditekankan pada dimensi sosial. Hal ini diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Mensos Nomor 82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial yang menyatakan bahwa titik tekan penanganan permasalahan disabilitas di Indonesia diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Akibatnya, program-program yang bersifat pemberdayaan tunanetra menjadi menarik untuk dikembangkan, seperti pemulihan ekonomi pasca gempa, pembangunan sarana umum yang aksesibel bagi penyandang tunanetra, maupun rapat kebijakan publik yang merangkul tunanetra untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, keterlibatan penyandang tunanetra dalam sektor pembangunan publik bukan hanya sebagai penerima pasif dari manfaat pembangunan melainkan sebagai pelaku aktif dari pembangunan. Rekomendasi ini menggambarkan wacana yang holistik sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara utuh dan mendasar. Harapan dari semua ini adalah terciptanya situasi sosial yang tak lagi memandang tunanetra dari ketidaberdayaannya. Oleh karena itu adalah keniscayaan bagi kita untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam proses membangun tatanan yang lebih baik karena hasil terbaik selalu dari hasil kerja kolektif.
Daftar Pustaka : [i] Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. [ii] Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. h.16.
Dwitya Sobat Ady Dharma, Alumni Pascasarjana Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta

Senin, 13 Januari 2020

Keterlibatan Siswa



Lingkungan belajar yang menyenangkan akan membuka minat siswa ke tingkat yang lebih tinggi sehingga besar kemungkinan keaktifan siswa akan terjaga sampai tujuan pembelajaran tercapai. Pembelajaran yang dirancang harus kreatif dan melibatkan siswa dan mendorong siswa mengembangkan kemampuan secara maksimal. Untuk mendorong dan mendukung kemajuan keterlibatan, sangat diperlukan scaffolding yang bersifat rekognisi sehingga diharapkan ABK secara perlahan mampu terlibat secara aktif sebagai dampak dari pembiasaan.
 
Kemampuan untuk terlibat dalam pembelajaran memerlukan kemampuan self-regulation siswa yang memiliki lima domain yaitu biological, emotional, cognitive, social, dan prosocial (Shanker, 2013). Self-regulation merupakan sebuah proses yang membantu siswa mengatur keinginan, dan perilaku mengelola pikiran (Ramdass&Zimmerman, 2011) sehingga mampu mengendalikan emosi dan tekanan (Shanker, 2012). Self-regulation ini juga berkaitan dengan self-concept dan self-esteem sehingga sebelum anak dapat terlibat dengan baik di kelas, kemampuan tersebut harus berkembang baik dalam diri anak

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...