Selasa, 14 Januari 2020

MEREKA YANG TERLUPAKAN: NASIB DRAMATIS PENYANDANG TUNANETRA DI NEGERI GEMPA

Kejadian tak diinginkan saat bencana sebetulnya bisa diminimalisasi jika tunanetra punya kemampuan menyelamatkan diri. Ini penting karena kebanyakan dari difabel belum mengetahui apa yang harus dilakukan ketika gempa berlangsung. Sedikit merefleksi gempa Jogja tahun 2006 lalu, tak sedikit korban yang merupakan difabel. Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan pelayanan yang mengarah pada pengembangan aksi tanggap darurat yang menitikberatkan pada kemandirian difabel saat gempa terjadi.
Memperbincangkan Indonesia dan gempa sangat berkaitan dengan letak geografisnya yang berada dalam jalur ring of fire. Negeri kita ini terletak pada pertemuan tiga lempeng kulit bumi aktif, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bersinggungan sehingga Lempeng Indo-Australia menghujam ke bawah Lempeng Euro-Asia. Gempa tak jarang menimbulkan banyak korban, baik seseorang yang sudah mengalami difabel maupun seseorang yang menjadi difabel karena gempa melanda.
Persoalan lain yang cukup penting adalah kenyataan bahwa negeri kita ini minim sistem peringatan dini dan sistem evakuasi bencana alam yang aksesibel terhadap difabel. Di tengah keadaan yang tak mendukung ini, masih saja diwarnai dengan tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk merehabilitasi yang merengkuh ranah secara holistik, misalnya ekonomi dan sosial. Hal ini pun diperparah dengan tidak adanya tim mitigasi yang difokuskan untuk menangani penyandang tunanetra dan kelompok rentan lainnya. Yang paling mengkhawatirkan, dalam penelitian Saru Arifin (2008),[i] selama ini kebijakan mitigasi bencana sejak awal proses penanggulangan korban bencana menggunakan paradigma masyarakat secara normal. Sementara bagi kaum difabel, hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok swasta.
Diskriminasi pun kerap mewarnai dalam proses evakuasi misalnya menempatkan mereka pada kelompok terakhir dalam penanganannya. Gempa bisa datang kapan saja. Gempa pun seringkali memakan korban yang cukup banyak. Parahnya, tunanetra merupakan salah satu pihak yang rentan karena mereka sering terlupakan saat penyelamatan. Banyaknya korban tunanetra sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaktahuan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, sebelum gempa, saat dan sesudahnya. Dengan adanya informasi yang tepat, kita sebetulnya dapat mengurangi risiko bencana kepada difabel dengan cara memperluas akses penyelamatannya. Langkah pemecahan strategis dapat dilakukan dengan menyentuh tiga dimensi, yaitu secara individual, kultural, dan struktural. Secara individual, dapat dilakukan dengan pemahaman akan keselamatan diri dengan pelatihan. Pelatihan dikatakan kontekstual dengan tunanetra apabila sesuai dengan karakteristiknya. Penerapan pendekatan kontekstual dalam training O&M dilakukan dengan cara mengaitkan konten training dengan situasi dunia nyata untuk membuat hubungan antara pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. Proses memahamkan makna konten yang dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan dan lingkungan sekitarnya.
Training pun dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi yang joyfull dan problem based instruction (training berbasis masalah). Training ini akan dibuat menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang dapat membuat tunanetra berpikir logis dan mampu mengeluarkan ide-idenya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tutor harus mampu mengembangkan organisasi instruksional termasuk di dalamnya kemampuan menyelidiki sumber belajar dan seleksi untuk penerapan instruksional, di samping penguasaan konten. Konten yang diajarkan dapat berupa pendidikan siaga bencana yang berisi kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana, sehingga tercipta kesiapsiagaan dan tanggap darurat dalam menyelamatkan diri.
Dalam konteks kultural, eksistensi tunanetra yang semakin tenggelam dalam program keselamatan tidak hanya dilihat semata-mata dari keadaan tunanetra sendiri. Kondisi tunanetra yang semakin terpuruk ini justru lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial yang terkait partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi. Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat.[ii] Padahal, difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial.
Oleh karena itu, memperluas akses aktualisasi prestasi penyandang tunanetra hal yang mutlak dilakukan. Akibatnya, tunanetra semakin eksis dalam proses sosial kemasyarakatan. Dalam dimensi struktural, masyarakat harus aktif dalam advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada penyandang tunanetra. Apalagi permasalahan kecacatan kini tak lagi dipandang dalam dimensi kesehatan, namun lebih ditekankan pada dimensi sosial. Hal ini diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Mensos Nomor 82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial yang menyatakan bahwa titik tekan penanganan permasalahan disabilitas di Indonesia diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Akibatnya, program-program yang bersifat pemberdayaan tunanetra menjadi menarik untuk dikembangkan, seperti pemulihan ekonomi pasca gempa, pembangunan sarana umum yang aksesibel bagi penyandang tunanetra, maupun rapat kebijakan publik yang merangkul tunanetra untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, keterlibatan penyandang tunanetra dalam sektor pembangunan publik bukan hanya sebagai penerima pasif dari manfaat pembangunan melainkan sebagai pelaku aktif dari pembangunan. Rekomendasi ini menggambarkan wacana yang holistik sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara utuh dan mendasar. Harapan dari semua ini adalah terciptanya situasi sosial yang tak lagi memandang tunanetra dari ketidaberdayaannya. Oleh karena itu adalah keniscayaan bagi kita untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam proses membangun tatanan yang lebih baik karena hasil terbaik selalu dari hasil kerja kolektif.
Daftar Pustaka : [i] Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. [ii] Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. h.16.
Dwitya Sobat Ady Dharma, Alumni Pascasarjana Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar:

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...