Sabtu, 24 September 2016

ANAK TIRI MEDIA TUNANETRA



Ketunanetraan yang disandang oleh seseorang berdampak langsung pada kemampuannya untuk mengakses informasi. Ketunanetraan mengakibatkan keterbatasan dalam variasi pengalaman, kemampuan dalam bermobilitas, kemampuan melakukan sesuatu, dan mengontrol lingkungan sekitar. Secara umum ketunanetraan tidak secara otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Tilman dan Osborne (2003) membandingkan antara anak tunanetra dan non-tunanetra, menunjukkan anak tunanetra dapat mempertahankan pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintregasi dengan pengalaman lainnya. Hal ini pun diperparah dengan minimnya fasilitas untuk tunanetra untuk mengakses informasi. Media  yang ada tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas. 

Fungsi indra penglihatan ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan media agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya pengelolaan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan media belajar belajar orang-orang nonberkebutuhan khusus. Namun demikian ada hal-hal khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan penyandang tunanetra.

Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Tujuan layanan ini dapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai literasi dan memberikan memberikan alternatif dalam mewujudkan tunanetra berwawasan. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilkan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, maupun Telesensory. 

Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga menerjemahkan kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Beberapa alat bantu yang telah berkembang belum dapat dinikmati secara merata. Kendalanya sangat beragam, mulai dari tingkat sosial ekonomi, kebutuhan akan literasi yang beragam, keterbatasan alat yang didistribusikan, sampai tingkat kepedulian masyarakat yang rendah. Media pembantu ini pun semakin tidak populer di masyarakat karena masyarakat belum menjadikan penyandang tunanetra sebagai bagian dari penerima berita dan informasi. Sudah menjadi rahasia umum jika penyandang tunanetra menjadi komunitas yang termarjinalkan di Indonesia. Pemerintah sangat tidak peduli akan kebutuhan akses informasi yang aksesibel oleh mereka. Masih segar dalam ingatan, seorang tunanetra yang ditolak oleh sebuah bank saat akan mendaftarkan dirinya sebagai pengguna ATM. Peristiwa ini seakan menjadi bukti daftar panjang ketidakpedulian para pemangku jabatan terhadap pemenuhan hak-hak difabel.  Padahal menurut data di tahun 2012, terdapat lebih dari dua juta penyandang tunanetra di Indonesia, baik tunanetra total maupun low vision.  

Sebagai negara yang menghormati hak-hak sipil warga negara, seharusnya berbagai layanan dapat diterapkan di berbagai lini media sehingga dapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Sudah saatnya penyandang tunanetra tidak dianaktirikan dan diberikan kesempatan untuk dapat mengakses berbagai macam media. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan layanan berbasis teknologi sehingga penyandang tunanetra dapat sejajar dengan warga negara lain.

DUNIA SUNYI KAUM TULI





Ketika saya berkata “saya”, yang saya maksud adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dan unik dari yang lain (Ugo Betti)





Kenyataan yang miris. Tunarungu selalu diposisikan sebagai sebuah realitas sosial yang menuntut akomodasi atas kebutuhan khususnya. Namun hampir tidak ada referensi media yang membicarakan solusi akan keterbatasannya ini. Ironisnya, banyak pegiat media yang belum memahami isu ini sehingga masih ada sikap yang salah terhadap keberadaan tunarungu. Hal ini bukan semata-mata dikarenakan kurang akomodatifnya pegiat media dalam memahami keberadaan tunarungu, namun lebih pada dangkalnya pemahaman pegiat media.

Keberadaan media informasi bagi tunarungu juga dirasa kurang dapat memfasilitasi mereka akan kebutuhan penerimaan informasi yang inklusif. Mereka kurang dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan individu lain yang bukan difabel. Hal ini dikarenakan hanya sedikit pihak yang peduli pada keterbatasan tunarungu. Pegiat media seharusnya dapat berperan aktif dalam memfasilitasi keterbatasan yang tunarungu alami.  

Umumnya, tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata. Akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, perkembangan intelegensi secara fungsional terhambat. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan daya abstraksi anak akan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. 

Karakteristik keterbatasan anak tunarungu secara tidak langsung akan menghambat kepribadian. Ketidakmampuan menerima pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan lingkungan terhadapnya menjadi hal yang kemudian terhimpun dalam dirinya dan menjadikannya semakin terpuruk.

Ketidakberdayaan ini disebabkan ketidakpedulian masyarakat terhadap eksistensi penyandang tunarungu. Ada beberapa fakta yang muncul yaitu masyarakat tidak peduli pada keterbatasan tunarungu. kaum difabel masih belum menjadi bagian penting dari penerima informasi, dan belum adanya regulasi yang memfasilitasi mereka. Padahal, berbagai macam kebijakan terkait penyandang cacat sangat penting disosialisasikan karena penyandang tunarungu di Indonesia tak sedikit jumlahnya.

Apakah kaum difabel termajinalkan? Tentu bukan menjadi rahasia lagi jika hanya beberapa stasiun televisi yang memfasilitasi bahasa isyarat, itupun hanya dalam acara berita. Bagaimana dengan informasi lain sepeti acara science teknologi, keagamaan, maupun hiburan? 

Maka untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan adanya paradigma baru bagi masyarakat, pegiat media dan pemerintah. Tuntutan yang bisa diperjuangkan antara lain diberikannya pelayanan yang mengarah pada pengembangan dan perluasan aksesibilitas penyandang tunarungu dalam memperoleh informasi.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...