Ketunanetraan yang disandang
oleh seseorang berdampak langsung pada kemampuannya untuk mengakses informasi.
Ketunanetraan mengakibatkan keterbatasan dalam variasi pengalaman, kemampuan
dalam bermobilitas, kemampuan melakukan sesuatu, dan mengontrol lingkungan
sekitar. Secara umum
ketunanetraan tidak secara otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan
berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ
dengan ketunanetran. Tilman dan Osborne (2003) membandingkan antara anak
tunanetra dan non-tunanetra, menunjukkan anak tunanetra dapat mempertahankan
pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintregasi dengan pengalaman lainnya. Hal ini pun diperparah dengan
minimnya fasilitas untuk tunanetra untuk mengakses informasi.
Media yang ada tidak memiliki layanan
khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para
penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas.
Fungsi indra penglihatan ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat
tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra
penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara
intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi
pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan
pengelolaan media agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya
pengelolaan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan media
belajar belajar orang-orang nonberkebutuhan khusus. Namun demikian ada hal-hal
khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan
penyandang tunanetra.
Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan yang dapat
membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Tujuan layanan ini dapat mempermudah dan
memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat
mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan
penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai literasi dan memberikan
memberikan alternatif dalam mewujudkan tunanetra berwawasan. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan
oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra,
menghasilkan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik
yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book
scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital
Talking Book), Termoform,
maupun
Telesensory.
Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses
informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki
aplikasi screen
reader yang disebut
JAWS (Job Acces With
Speech). Cara kerja aplikasi screen
reader yaitu komputer
menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara.
Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak
kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun
huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang
berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat.
Program JAWS dapat juga menerjemahkan kata
dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Beberapa alat bantu yang telah berkembang belum dapat dinikmati
secara merata. Kendalanya sangat beragam, mulai dari tingkat sosial ekonomi,
kebutuhan akan literasi yang beragam, keterbatasan alat yang didistribusikan,
sampai tingkat kepedulian masyarakat yang rendah. Media pembantu ini pun semakin
tidak populer di masyarakat karena masyarakat belum menjadikan penyandang
tunanetra sebagai bagian dari penerima berita dan informasi. Sudah menjadi
rahasia umum jika penyandang tunanetra menjadi komunitas yang termarjinalkan di
Indonesia. Pemerintah sangat tidak peduli akan kebutuhan akses informasi yang
aksesibel oleh mereka. Masih segar dalam ingatan, seorang tunanetra yang
ditolak oleh sebuah bank saat akan mendaftarkan dirinya sebagai pengguna ATM.
Peristiwa ini seakan menjadi bukti daftar panjang ketidakpedulian para pemangku
jabatan terhadap pemenuhan hak-hak difabel.
Padahal menurut data di tahun 2012, terdapat lebih dari dua juta
penyandang tunanetra di Indonesia, baik tunanetra total maupun low vision.
Sebagai negara yang
menghormati hak-hak sipil warga negara, seharusnya berbagai layanan dapat
diterapkan di berbagai lini media sehingga dapat mempermudah dan memfasilitasi
penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh
karena keterbatasaan dalam penglihatan. Sudah saatnya penyandang tunanetra
tidak dianaktirikan dan diberikan kesempatan untuk dapat mengakses berbagai
macam media. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan layanan berbasis
teknologi sehingga penyandang tunanetra dapat sejajar dengan warga negara lain.