Jumat, 11 Februari 2011

Yang aku sukai dari novel “Sakura” Nova Ayu Maulita (Komentar Tigapuluh Menit)

Setelah selama empat hari tiga malam berjumpa dengan para penulis keren seperti kang Abik, teh Pipiet Senja, Afifrah Afra, Sinta Yudisia, Sakti wibowo, Joni Ariadinata dan lain sebagainya di villa Eden Kaliurang, tanpa sadar virus semangat yang mereka bawa tiba-tiba masuk dalam tubuhku. Ghirah nulis langsung tinggi... Apalagi aku sempet menjatuhkan koper milik teh Pipiet pas buka bagasi. Bug..bug..toeng. Aku langsung panik, takut kalo isinya barang pecah belah (Apa hubungannya dengan ghirah menulis ya? krik krik krik....)


Baiklah...ehm..keesokan harinya setelah check out dari villa mewah itu, aku langsung menuju islamic book fair di GOR UNY. Sampai di sebuah stand, ada dua novel yang langsung mengingatkanku pada up-grading kemarin: Existere-nya mbak Sinta dan Sakura-nya mbak Ayu. Pengennya sih beli dua-duanya, tapi berhubung aku sedang ‘SAKURA’—Saku ku rata, maka aku beli satu aja deh. Dan buku yang dibeli pun sama: SAKURA. Sebuah kebetulan yang aneh. @_@ v


Mbak Nova Ayu Maulita, pemenang 3 RBA 2002: profilnya pernah aku baca saat aku masih SMA kelas 1 di Annida. Lebih tepatnya Annida no.03/XIV/1-15 Nopember 2004 (lengkapkan?! Aku punya klipingnya lho...). di artikel itu, mbak Ayu-nya senyum nyengir, pake jilbab putih krem, pake jas warna biru, n kacamata. Pas up-grading kemarin tampaknya ada juga, tapi kok beda ya dengan fotonya di Annida... jangan-jangan...tidaaaaaak...! he : )


Maklum, pas aku masuk FLP, mbak Ayu-nya pergi ke Jepang. Wah, tlisiban.


Cukup ya basa-basinya, setelah membaca novelnya mbak Ayu yang orang HI UGM, ada beberapa hal yang aku sukai. Silahkan disimak, jreeng...


Aku paling suka saat saat baca paragraf-paragraf yang membandingkan Indonesia dengan Jepang. Misalnya aja di halaman 26-27, “....padahal di Korea dan China ada catatan buruk bahwa Jepang adalah penjajah yang hingga saat ini harus dimusuhi. Satu hal hal yang tak pernah terbaca dalam buku catatan sejarah Indonesia. Di buku-buku pelajaranku hanya kutahu Indonesia dijajah Jepang tiga setengah tahun. Dan itu disampaikan datar-datar saja, tak ada emosi, tak ada kemarahan, apalagi rasa dendam. Entah apa karena bangsaku yang terlalu ramah tamah dan pemaaf atau justru terlalu bodoh?” Tampaknya aku setuju dengan mbak Ayu. Bukan hanya Jepang, bahkan kebiasaan yang dibawa Barat ke Indonesia dulu saat awal-awal pendudukan Belanda juga menjadi sesuatu yang “haram” diikuti. Tapi kini, orang kalo kebarat-baratan kok malah bangga, macam permasalahan sosial yang dibahas di novel tentang kehidupan barat yang bebas. Naudzubillah....(oh ya, btw motor mbak Ayu bukan buatan Jepang kan?! Hehehe pis mbak....)


Di halaman 43, juga disentil tentang pendidikan Indonesia yang sudah kadaluwarsa, “....kuliah di Indonesia juga penuh imajinasi, ketiadaan sarana dan prasarana masih mengganjal. Atau mungkin sama dengan teman-teman sastra-bahasa asing apapun, yang setelah lulus sarjana masih juga belum bisa bicara fasih bahasa asing. Sebenarnya apa yang salah dengan pendidikan Indonesia?” Yang ini juga setuju mbak! Tampaknya emang kayak gitu. Banyak siswa yang mulai belajar Bahasa Inggris sejak SD, tapi sampai SMA nggak lancar-lancar (sopo yo sing kesindir?? Aku hehehe...)



Pada halaman 85 pun juga demikian, “Jepang punya banyak aturan. Naik kereta harus baris, naik eskalator harus dari sisi kiri karena sisi kanan sengaja diluangkan untuk mereka yang berlari terburu mengejar waktu, di dalam kereta harus matikan handphone, hampir semua ada aturannya. Sedang di Indonesia semua aturan bisa dilanggar.” Begitu membacanya langsung mesem-mesem. Iyo e..pas kapan itu aku antri ATM...ujug-ujug ono sing nyrobot, pas antri ngeprint di kopma UNY...ono sing nyrobot juga, masuk ke trans Jogja...uyel-uyelan, masuk perpus...rame buanget...wis jan...Indonesia...Indonesia...Jadi pengen ke Jepang. Namaku jadi Sinichi Subatsa..(CURCOL).


Halaman 110-115, secara gamblang mbak Ayu menjabarkan “dosa-dosa” orang Indonesia. Saat ketidakteraturan menjadi hal yang lumrah. Petugas stasiun yang acuh n cuek bebek, sukanya jalan pintas (mis nembak kalo mau buat SIM)...., suka santai-santai, males-malesan, ogah-ogahan... kalau dipikir-pikir mirip patrick spong bok..hehehe.


Yang paling aku suka lagi saat adegan-adegan di maskam. Wah, jadi terasa dekeeeet banget. Saat kejadian di parkiran, di deket tempat wudhu, di depan kolam, di serambi yang banyak tiangnya...

Tapi ada beberapa yang membuat kurang nyaman. Misalnya aja ketikan nama yang kadang salah (TAKAYAKMA HIRO atau TAKAYAMA HIRO?). Kadang Takayakma...kadang Takayama. Lantas tentang koteka itu juga aku kurang suka, mending cari contoh lain saja.
Di halaman 58 ada paragraf seperti ini, “Andres duduk lagi, lalu meraih cangkir coklatnya. Tangannya mengambil sehelai keju lalu mencelupkannya dalam cairan coklat hangat itu. Perlahan coklat meleleh menyatu dalam coklat yang manis menggigit.” Menurutku yang meleleh itu keju-nya, bukan coklat. Masak coklat meleleh dalam coklat? Bukannya yang dimasukin tadi keju? (mungkin ya Mbak, namanya juga nebak...he)

Tapi Pokmen, bagus deh novelnya....jadi pengen menyusul untuk menerbitkan buku. Ayo semua pada teriak....”AAMIIIN....!!!”

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...