Rabu, 29 Desember 2010

Ketika Sendiri Selalu Diawasi

HADIST, “Dari Tsauban dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, ‘Sungguh aku beritahukan tentang beberapa kaum dari umatku yang datang membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih lalu Allah swt menjadikannya seperti debu yang beterbangan’. Tsauban bertanya kepada Rasulullah,’Wahai Rasulullah gambarkanlah mereka kepada kami siapa mereka agar kami tidak termasuk mereka dalam keadaan kami tidak mengetahuinya.’ Beliau menjawab,’Adapun mereka itu adalah saudara-saudara kalian dan dari bangsa kalian serta menghidupkan malam hari seperti kalian menghidupkannya. Namun mereka adalah kaum-kaum yang apabila menyendiri (tidak ada orang yang melihatnya) mereka melanggar larangan-larangan Allah.” (Riwayat Ibnu Majah),
TAKHRIIJ HADIST, Hadist ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya, kitab az-Zuhud, Bab Dzikrudz-Dzunub, 2/1418 no. 4245. Hadist ini dinilai shahih oleh syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab Silsiah ahaadits ash-Shahihah no 505.
PENJELASAN HADIST, Dalam hadist yang mulia ini Rasulullah saw menekankan perlunya menguatkan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah dalam setiap keadaan dan waktu) dan menanamkannya dalam jiwa setiap muslim. Kekuatan muraqabah inilah yang menjaga seorang muslim dari melanggar larangan Allah swt walaupun sedang bersendiri tidak dilihat oleh manusia.
Hadist ini berisi ajakan yang cukup jelas dan tegas kepada kita untuk menanamkan dan menumbuhkan sikap muraqabah dan rasa malu kepada Allah swt dalam setiap keadaan sehingga sikap-sikap ini tertanam dan terpatri dalam jiwa kita semua.
Dalam hadist ini Rasulullah saw menggambarkan kepada kita keadaan kaum yang datang di hari kiamat kelak dengan membawa kebaikan yang sangat banyak sampai-sampai menyerupai butiran pasir yang putih sebesar gunung Tihamah di Yaman. Tapi sayang Allah swt tidak menghirakan itu semua dan menghancurkan semua bagaikan debu yang beterbangan. Rahasianya tidak lain karena mereka bila tidak dilihat manusia dan dalam keadaan sendiri melanggar larangan-larangan Allah swt tanpa rasa takut dan malu kepada-Nya. Semua larangan Allah mereka terjang ketika sepi dan tidak dilihat orang. Ini semua agar dijadikan peajaran dari kisah ini sebelum terlambat dan terperosok ke dalam lubang tersebut.
PELAJARAN HADIST.
1. Pentingnya menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita dengan mengambil sarananya, di antara sarananya adalah:
a. Memperbaiki pemahaman agama dan berusaha menjadikan aqidah kita serupa dan sama dengan aqidah Rasulullah saw.
b. Meyakini dengan sempurna bahwa Allah swt mengetahui segala sesuatu dalam semua keadaan.
c. Meyakini dengan sempurna bahwa Allah swt akan menghisab semua amalan kita baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.
2. Menyucikan jiwa, di antara caranya adalah:
a. Terus menerus disiplin dan sinambung melaksanakan ketaatan baik yang bersifat wajib maupun sunnah.
b. Komitmen dengan jama’ah dan hidup bersamanya.
c. Mencari teman yang baik dan shalih.
3. Selalu mawas dan merasa diawasi Allah swt dalam segala kondisi dan keadaan.
4. Urgensi kisah dala memantapkan makna kehidupan dalam jiwa dan mengokohkannya.
5. Harus menjaga kebaikan-kebaikan dan berusaha menjauhi larangan Allah swt.
6. Bahaya melanggar larangan Allah walaupun tidak ada orang yang melihatnya. Wallahu a’lam.

diketik ulang dari majalah elfata
(Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Elfata Edisi 11 Volume 10, 2010, hal17-19)

Rabu, 22 Desember 2010

Terapi Bermain bagi Penyandang Kelayuhan Otak (Cerebral Palsy) dalam perspektif Islam oleh: Dwitya Sobat Ady Dharma

“Pada suatu saat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyusun dan merencanakan berbagai perlombaan, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian Nabi berkata, ‘Barangsiapa yang lebih dulu dapat mencapaiku, maka ia akan mendapatkan ini dan itu─dengan menyebutkan hadiah yang yang akan diterima oleh si anak─’. Mendengar ucapan Beliau, anak-anak pun berlomba untuk menuju tubuh Rasullullah. Mereka ada yang langsung bergelayut di punggung Rasullullah dan ada pula yang mendekap dadanya, sedangkan Beliau langsung menyambut mereka.”

Cerebral palsy merupakan suatu cacat yang disebabkan oleh adanya gangguan yang terdapat di dalam otak dan bersifat kekakuan dan kelayuhan pada anggota geraknya. Istilah cerebral palsy juga menerangkan adanya kelainan gerak, sikap, ataupun bentuk tubuh, gangguan koordinasi, dan kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris karena kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak.
Kerusakan ini dapat terjadi sebelum, semasa, atau setelah kelahiran disebabkan oleh otak yang tidak berkembang dengan baik atau terjadi insiden yang menyebabkan kerusakan otak yang sedang berkembang, seperti akibat kecelakaan (trauma), kekurangan oksigen, pendarahan, maupun penyakit tertentu. Terdapat tiga jenis cerebral palsy yang utama yaitu cerebral palsy tipe spastic, athetosis, dan ataxia. Pada cerebral palsy tipe spastic, ketegangan otot berada pada tingkat yang abnormal tinggi dan meningkat ketika menjalankan aktivitas. Otot dan sendi terasa kaku sehingga gerakan menjadi terbatas. Cerebral palsy tipe athetosis memiliki ketegangan otot yang berubah secara konstan, tak memiliki koordinasi pergerakan dan tidak terkontrol. Sedangkan pada cerebral palsy tipe ataxia, masalah yang terjadi adalah hal keseimbangan dan koordinasi.
Allah berfirman dalam surat Al Mursalat ayat 20-23, “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina, kemudian kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” Ayat ini melihat bahwa ketidaksempurnaan fisik memang ditetapkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala sebagai sifat iradah-Nya. Perwujudan logis adanya pengakuan ketidaksempurnaan fisik, maka konsekuensinya adalah memberikan pelayanan yang bersesuaian dengan hak-hak mereka. Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya, dari hadis Abi Sa’id Al-Khudri berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “....berilah mereka semangat dalam menghadapi takdir, karena hal tersebut tidak akan menolak apa pun. itu menyemangatkan jiwa orang sakit.” Hadis ini menyebutkan jenis terapi yang paling mulia, yaitu petunjuk untuk menyemangati jiwa mereka dengan perbuatan yang menyenangkan.
Menurut Jamila Muhammad (2008) hampir 40% anak-anak yang mengalami cerebral palsy mempunyai kemampuan kognitif yang normal atau bahkan lebih baik daripada anak-anak yang seusia dengannya. Ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fisik dan komunikasi yang ada tidak membuat mereka menjadi cacat mental. Oleh sebab itu, penilaian dalam berbagai bidang adalah penting untuk memastikan semua aspek cerebral palsy dapat diperhitungkan ketika merencanakan rancangan pendidikan. Kebutuhan pembelajaran bagi cerebral palsy mencakup beberapa aspek, yaitu motorik, afektif, dam kognitf. Allah berfirman dalam surat Al Mukminun [23] ayat 115, “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.” Dengan memberikan terapi yang bersesuaian dengan karakteristik penderita cerebral palsy, maka potensi yang ada dapat dioptimalkan dan dapat menjalani kehidupan secara mandiri.
Anak-anak yang mengalami cerebral palsy memerlukan program pembelajaran untuk membantu mengembangkan kemampuan motorik, afektif, dan kognitif. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemunduran yang mencakup fungsi-fungsi persendian, otot-otot serta kondisi tubuhnya, keaktifan anak, dan kemampuan intelektualnya. Pendidik perlu mengupayakan sumber belajar dan media pembelajarannya dalam proses belajar mengajar. Untuk itu pemenuhan kebutuhan belajar yang dapat dimanfaatkan dalam upayanya menyerap materi pembelajar adalah mutlak dilakukan. Salah satu cara agar pembelajaran menjadi kondusif dan bermakna adalah dengan program belajar sambil bermain. Kehadiran program ini diharapkan mampu membantu pendidik dalam menyampaikan materi dengan mengurangi verbalisme yang ada sehingga materi mudah diserap dan dipahami oleh siswa.
Teori pendidikan Islam menyertakan bahwa permainan adalah salah satu komponen pokok dalam proses pendidikan anak. Anak-anak pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan berbagai aktivitas melalui permainan. Para pendahulu juga menekankan pentingnya permainan untuk membangun kesehatan fisik dan perkembangan kemampuan otak anak. Imam Ghazali berkata, “Setelah seorang anak menyelesaikan hafalan Al Qur’an, hendaknya ia diberi kesempatan untuk melakukan permainan yang baik. Seandainya anak dilarang bermain dan membebaninya untuk selalu belajar, maka hal tersebut akan mematikan hati, menghancurkan kecerdasan dan mempersulit langkah kehidupannya. Sehingga si anak akan berusaha untuk mencari akal dan menciptakan tipu daya agar dapat keluar dari semua penderitaan tersebut.” Maka, permainan dinilai sebagai jalan keluar bagi anak dan memenuhi segala kebutuhannnya.
Terapi bermain adalah siasat atau rencana yang cermat mengenai proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, dan atau proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan upaya yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung, dan memungkinkan terjadinya anak cerebral palsy belajar secara menyenangkan sehingga dapat mengoptimalkan potensi yang ada. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jabir ra berkata, “Pernah kami bersama Rasullullah, kemudian kami diundang makan bersama. Tiba-tiba kami melihat Hasan bermain di jalan bersama anak-anak kecil lain. Melihat itu Nabi di depan sahabatnya membentangkan tangannya, lalu Beliau kesana-kemari sehingga Husain tertawa. Rasul kemudian membawanya, meletakkan salah satu tangannya di dagunya dan yang lain diletakkan di antara kepala dan kedua telinganya.” (HR. Bhukari dan Tirmidzi serta Hakim).
Kisah lain menyebutkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bermain dengan Hasan dan Husain ra dan meletakkan keduanya di atas punngung beliau, sedangkan beliau berjalan dengan mempergunakan kedua tangan dan kakinya, seraya berkata, “Semulia-mulianya unta adalah kalian berdua dan semulia-mulianya penunggang adalah kalian berdua.” Rasullullah juga membawa mereka berdua ke peraduan beliau dan bermain dengan keduanya. Tidak hanya itu, pada suatu saat Nabi juga telah menyusun dan merencanakan berbagai perlombaan, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian Nabi berkata, “Barangsiapa yang lebih dulu dapat mencapaiku, maka ia akan mendapatkan ini dan itu─dengan menyebutkan hadiah yang yang akan diterima oleh si anak─”. Mendengar ucapan Beliau, anak-anak pun berlomba untuk menuju tubuh Rasullullah. Mereka ada yang langsung bergelayut di punggung Rasullullah dan ada pula yang mendekap dada beliau, sedangkan Beliau langsung menyambut mereka.
Riwayat tersebut mengindikasikan bahwa manfaat yang diperoleh dari bermain akan tampak bila disusun dan diarahkan menjadi permainan yang mendidik. Proses perkembangan potensi anak akan terwujud melalui usaha yang sadar dan terencana jika di dalamnya telah diletakkan muatan yang tertata rapi. Bagi anak cerebral palsy jenis permainan yang dapat dilakukan adalah permainan adaptif, misalnya melempar-lembar bola berwarna-warni kepada orang lain. Sebuah hadis menyebutkan,”Lemparkanlah Bani Ismail, karena kakek moyang kalian adalah orang-orang yang ahli dalam melempar.” (HR. Bukhari). Manfaat yang didapat dari aktifitas ini adalah mengembangkan aspek fisik, mengembangkan aspek motorik, afektif, dan kognitif. Terapi ini dimaksudkan untuk membantu anak-anak mencapai tingkat kemampuan semaksimal mungkin. Agama Islam pun menganjurkan terwujudnya jasmani dan rohani yang kuat dan mampu menjalankan kewajiban di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana sebuah hadis yang mengatakan bahwa seorang mukmin yang kuat tentu akan lebih disukai Allah.
Bermain adalah dunia kerja anak dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia. Melalui bermain, anak dapat memetik berbagai manfaat bagi perkembangan aspek fisik, kecerdasan dan sosial emosional. Ketiga aspek ini saling menunjang dan tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu aspek tidak diberikan kesempatan untuk berkembang, akan terjadi ketimpangan. Bermain adalah aktivitas yang menyenangkan dan merupakan kebutuhan bagi setiap anak. Maka dari itu, anak dapat belajar berbagai aktivitas tanpa terpaksa.
Bermain mempunyai manfaat yang besar bagi perkembangan anak. Bermain merupakan pengalaman belajar yang sangat berguna untuk anak. Hal ini tentu dapat dijadikan suatu pilihan untuk mengembangkan aspek fisik, inteligensi dan sosial emosional pada cerebral palsy. Melalui bermain, aspek yang kurang seimbang dapat dikembangkan dan diselaraskan. Dengan karakteristik fisik cerebral palsy yang mengalami kekakuan pada bagian-bagian tubuhnya, kegiatan bermain dapat berfungsi meningkatkan keterampilan gerak, menggali potensi gerak tubuh, memperluas pengalaman dan perkembangan gerak, dan motivasi melakukan gerak yang mengarah pada prestasi. Begitu pula dengan aspek sosial dan inteligensinya. Kegiatan yang dilakukan bersama-sama dapat meningkatkan hubungan sehat dalam kelompok dan melatih menyelesaikan masalah yang dihadapi dan meningkatkan kreativitas. Wallahu ‘alam.

Kamis, 09 Desember 2010

KHADIJAH; CINTA YANG TAK PERNAH MATI Oleh: Mbak Reni Nuryanti (diposting dengan izin penulis aslinya via sms)

Usia dan Kematangan Jiwa
Pergelutan dan pergulatan melawan nasib, tidak pernah menafikan penopang sebagai kekuatan pejuang. Ketika harta dan pasukan adalah kekuatan fisik yang tiada terganti, maka perempuan adalah daya psikologis yang tidak mungkin ditinggalkan. Perempuan—posisinya sebagai istri adalah bara yang menyalakan kekuatan suami. Semua ini tidak lepas dari kematangan jiwa yang mengalirkan sentuhan keikhlasan untuk memberi, meski tidak selalu menerima. Semua hanya mampu diberikan oleh perempuan yang mengenal dahsyatnya pernikahan sebagai ikatan ukhrawi yang dibalut oleh cita-cita untuk ‘membesarkan dan menumbuhkan.’
Bukan perkara ‘tambah’ karena sifatnya kuantitatif, tetapi ‘tumbuh’ yang menautkan kualitas seseorang. Perempuan hadir untuk menjadikan kualitas yang melekat pada laki-laki, semakin termanifestasi dalam kehidupan. Tidak heran, orang-orang besar dalam sejarah, selalu menyerap energi dari perempuan. Dan yang menarik adalah, mereka kerap memilih perempuan yang lebih tua.
Sukarno misalnya, menikah dengan perempuan yang 15 tahun lebih tua, bernama Inggit Garnasih. Demikian juga Napoleon Bonaparte yang ‘besar’ dengan kekuatan Josephine, seorang janda yang 12 tahun lebih tua. Dan dalam sejarah agung, Khadijah adalah cermin kekuatan Muhammad dalam masa-masa paling sulit perjuangan menyebarkan Islam. Khadijah binti Khuwailid, janda, seorang pebisnis tersohor di Mekah yang 15 tahun lebih tua itulah, yang akhirnya mendampingi Muhammad. Saat menikah, Khadijah berusia 40 tahun, sedangkan Muhammad menginjak usia 25.
Umumnya orang-orang besar juga mengambil istri dari perempuan berpendidikan formal yang relatif biasa, tetapi matang dalam pengalaman hidup. Inggit Garnasih misalnya, tidak tamat madrasah. Namun, ia sanggup mendampingi Sukarno untuk mengepakan sayap perjuangan di tahun 1920-an, bahkan menopang hidup selama kuliah di Bandung. Inggit adalah perempuan yang paling lama mendampingi Sukarno, sebelum akhirnya dicerai pada tahun 1943, karena Sukarno mencintai Fatmawati. Selama 20 tahun, Inggit mendampingi Sukarno—sebuah masa yang paling mendebarkan dalam hidup Sukarno, dilewati dengan sempurna. Demikian juga Josephine. Ia tidak banyak menyentuh bangku sekolah. Namun cintanya pada Napoleon, tetap menyejarah. Di atas segala intrik perselingkuhan, Napoleon tetap mengakui bahwa Josephine adalah kekuatannya. Tidak berlebihan sehingga ketika meninggal, satu nama yang disebut adalah, “Josephine.” Tidak berbeda dengan Khadijah. Ia bukan sosok tersohor dalam ilmu pengetahuan. Namun, karunia akal yang cerdas serta kelembutan jiwa itulah, yang sanggup meluluhkan hati Muhammad.
Kematangan jiwa yang ditampakan oleh Khadijah, menjadikan Muhammad tegar dalam perjuangan yang tidak pernah sepi dari tantangan. Seruan Islam yang digemakan pada saat ia menjadi nabi, harus dibayar mahal. Muhammad kerap menghadapi siksaan dari pembesar Quraisy. Demikian juga tidak sedikit harta yang dicurahkan Khadijah untuk biaya perang. Segalanya Khadijah berikan karena kekuatan spiritualnya yang tinggi. Kekuatan itulah yang menjadikan Muhammad menempatkannya sebagai perempuan agung, sejajar dengan: Mariam, Fatimah, dan Asiyah.


Pendobrak Tradisi Patriarki
Khadijah binti Khuwailid, lahir dan besar di Mekah. Pada masa itu, Mekah dihiasi oleh peradaban hedonis yang menempatkan kekayaan, otoriritas, dan kepemilikan anak. Para pembesar yang umumnya adalah para pedagang, membangun rumah-rumah bertingkat yang kokoh. Mereka pada umumnya juga memiliki wewenang dalam kehidupan masyarakat, terutama keyakinan yang menetapkan: Latta, Uzza, dan Manat sebagai Tuhan. Selain dua hal tersebut, kepemilikan anak juga menjadi prestise tersendiri. Apalagi jika keluarga didominiasi anak-anak laki-laki, mereka akan merasa semakin berkuasa. Tidak heran, sehingga masyarakat Arab memangku budaya patriarki yang secara tidak langsung ‘menundukan’ perempuan. Mempunyai anak perempuan dalam jumlah yang banyak adalah ‘siksa batin’ bagi mereka.
Khadijah tumbuh sebagai perempuan terpandang. Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah, sedangkan ayahnya, Khuwailid. Mereka dikenal menolak penyembahan terhadap berhala yang dianggap melanggar ketentuan agama Ibrahim. Sikap mereka juga didukung oleh saudara sepupu Khadijah, Waraqah ibu Naufal Ibnu Asad, yang dikenal sebagai seorang yang weruh sadurunge winaruh (mampu menafsirkan masa depan).
Khadijah pernah menikah dua kali. Dengan suami pertamanya, Abu Halah an-Nabbasyi Ibnu Zurarah at-Taymi, Khadijah dikaruniai dua anak laki-laki: Hindun dan Halah. Pernikahan itu berakhir, karena sang suami wafat. Khadijah kembali menikah dengan Athiq Ibnu Aid a- Makhzumi dan dikaruniai anak laki-laki yang juga dinamai Hindun. Pernikahan kedua juga berakhir. Sayang, tidak ada data yang menyebutkan sebabnya. Dalam buku biografi, Khadijah; The True Love Story of Muhammad, Abdul Mun’in Muhammad juga tidak menuliskan.
Selepas menjanda, Khadijah fokus pada bisnisnya. Banyak kafilah yang mencoba melamar, namun sosok yang dijuluki ‘wanita suci ini’ menolak. Hingga akhirnya, hatinya tergetar dengan sosok Muhammad yang dikenal sebagai seorang yang jujur. Rasanya sebuah keajaiban, saat Khadijah memutuskan perkara pengiriman misi dagang ke negeri Syam kepada pemuda kalem yang baru dikenalnya. Mati hati Khadijah terbuka saat ia dihadapkan pada pemuda: santun, cerdas, sederhana, dan pandai menjaga penampilan. Postur Muhammad yang: seimbang, tidak terlalu pendek dan tinggi, tidak terlalu gemuk dan kurus, sanggup menggelorakan asmara Khadijah.
Berbekal keteguhan prinsip dan inisiatif, Khadijah memberanikan diri menemui saudaranya, Nafisah binti Umayyah, untuk menyampaikan niatnya menikahi Muhammad. Gayung bersambut. Muhammad yang semula tidak yakin, akhirnya menerima lamaran Khadijah. Berkat bantuan pamannya, Abdul Muthalib (Abu Thalib), Muhammad yang tiada berharta, mampu menghadiahkan 20 ekor unta kepada Khadijah. Pernikahan agung itu terjadi pada 2 bulan 15 hari selepas Muhammad datang dari Syam.
Keberanian Khadijah untuk melamar dan menikah dengan Muhammad, adalah gebrakan baru. Pada masa itu, perempuan Mekah pada umumnya hanya menunggu untuk dipilih. Namun tidak bagi Khadijah. Ia memulai sikap melawan tradisi dengan terang-terangan melamar Muhammad—sebuah keberanian yang mendebarkan. Cibiran memang tidak sepi. Bahkan, cacian datang silih berganti. Khadijah teguh bahwa sikapnya benar. Dan sejak itu, tradisi patriarki mulai terguncang. Khadijah memulai sikap: perempuan harus berani membuat pembaharuan yang dilandaskan pada kebenaran.

Cinta yang Tak Pernah Mati
Di usianya yang sudah kepala empat, Khadijah melahirkan. Qasim, Zainab, Rukayah, Ummu Kultsum, Fatimah, terlahir dengan jarak yang pendek. Sedangkan Abdullah, lahir saat Khadijah mencapai usia 56 tahun. Kebahagiaan dan kesedihan silih berganti, salah satunya saat Khadijah harus kehilangan dua anak: Qasim dan Abdullah. Kematian itulah, yang mengguncang batin Khadijah dan Muhammad. Keinginan mempunyai anak laki-laki hanya menjadi impian. Namun, tangisan bukan pengganti yang telah pergi. Muhammad sendiri berucap, “Air mata boleh mengalir, ahti boleh sedih, tetapi lisan hanya boleh mengucapkan apa yang membuat Allah ridha. Kami sungguh bersedih atas kematianmu.”
Khadijah memaklumi, anak hanya titipan. Ia tidak berlarut dalam kesedihan. Tugas besar menanti, ketika Muhammad sudah mulai beruzlah (mengasingkan diri) ke Gua Hira untuk menyepi, mencari makna hidup, dan menepi dari hiruk pikuk kota Mekah yang semakin ‘brutal’ oleh kehidupan duniawi. Khadijahlah yang menyiapkan segala keperluan. Selama sebulan Muhammad menyepi di Gua Hira dan selama itu pula, Khadijah melayani keperluannya. Semua urusan keluarga dan dagang, Khadijah tangani sendiri bersama kerabatnya.
Keikhlasan Khadijah makin teruji saat Muhammad memasuki fase kenabian di usia empatpuluh. Pemberitaan Waraqah kepada Khadijah bahwa Muhammad adalah sosok nabi, makin membuatnya yakin. Ia percaya bahwa suaminya yang diberikan anugerah oleh Allah untuk menyucikan agama Ibarhim. Maka Khadijah semakin menata diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Semua makin terkuak, saat Muhammad menerima wahyu pertama di Gua Hira. Pada saat itu, Jibril memeluk Muhammad sambil mengucapkan, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq [96]: 5)
Muhammad berlari pulang dengan muka pucat. Tubuhnya mengigil dan berseru, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah mendekap lembut, menguatkan perasaan saat Muhammad menyangka semua adalah ilusi. Khadijah mengatakan, “Tidak mungkin. Aku memohon agar Allah melindungimu dari semua itu. Allah tidak akan melakukan itu kepadamu karena engkau adalah orang yang jujur, terpercaya, berakhlak mulia...” Beberapa kali, Muhammad merasakan hal yang sama, hingga puncaknya, ia hampir pingsan setelah menerima seruan QS Al Qalam [68]: 1-6. Khadijah yakin sepenuhnya, bahwa suaminya memang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah. Sejak itulah, dengan keteguhan hati, ia mengatakan, “Aku beriman kepadamu ya Rasulullah.” Sejak itu pula, Muhammad lebih akrab dengan panggilan, Rasulullah. Betapa agung sosok Khadijah di mata Muhammad. Ia adalah orang pertama yang mengimani, saat hati dan pikirannya terguncang. Tak lama setelah itu, seluruh keluarga Muhammad menyatakan masuk Islam.
Fase kenabian telah menyumbul. Muhammad kemudian menerima ajaran Shalat yang sekaligus menjadi momentum terbuka penyebaran Islam di Mekah. Setiap hari, Muhammad melakukan shalat di Kabah dan sejak itu pula, cobaan mulai datang menyapa. Kelompok orang yang terancam agamanya, antara lain: Abu Lahab dan Abu Jahal, mulai memusuhi Muhammad. Beberapa kali, ia harus menhadapi siksaan fisik hingga hampir terbunuh.
Dalam suasana penuh penderitaan itulah, Khadijah mendampingi Muhammad sebagai teman setia. Ia adalah gambaran dari: ibu, kekasih, dan kawan. Kehadiran Khadijah adalah penguat yang mengencangkan tali dakwah Muhammad. Keikhlasan menerima kehidupan yang sarat tantangan adalah bukti, Khadijah memang sulit dicari bandingannya. Begitu mulia, sehingga Allah menjanjikan rumah berhias bermata di surga. Muhammad tidak bisa memungkiri, betapa ia memang sangat berhutang cinta pada Khadijah.

Nama Khadijah tetap lekang dalam ingatan Muhammad. Tidak seorangpun ia biarkan menghina. Muhammad bahkan pernah marah dengan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain”, saat Aisyah cemburu.
Aisyah mengakui bahwa di antara sepuluh istri Muhammad, Khadijah yang paling membuatnya cemburu. Penulis biografi Aisyah; The True Beauty, Sulaiman An-Nadawi, menuliskan, “Seperti tidak ada perempuan lain di dunia ini selain Khadijah.” Demikian juga menurut Abdul Mun’in Muhammad, Aisyah pernah merajuk kepada Muhammad dengan mengatakan, “Rasulullah hampir tidak pernah keluar rumah tanpa menyebut dan memuji Khadijah. Hal itu membuatku cemburu. Kukatakan, bukahkah ia hanya wanita tua renta dan engkau telah diberi pengganti yang lebih baik darinya?”
Cinta yang menguatkan—itulah yang Muhammad dapatkan dari Khadijah. Saat cinta dihadapkan pada sebuah perjuangan, fisik bukan menjadi ukuran. Kematangan jiwalah yang menjadi sandaran sehingga dalam kelelahan, Muhammad dapat mengadukan hiruk-pikuk perasaannya. Keteguhan seorang istri dalam ‘membesarkan’ suami itulah yang akan menitikan tinta keabadian dalam sejarah pernikahan. Semuanya, sudah Khadijah warisan dengan paripurna. Fisik boleh rapuh, raga bisa jadi telah membumi, tapi tidak dengan semangat memberi yang selalu menaungi. Bisakah kita seperti Khadijah, wahai para muslimah?


** The Best Young Researcher in Social and Cultural of LIPI 2008 dan dosen FKIP Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Samudra, Langsa.

Penulis Rabu Senja

Penulis Rabu Senja

Lyrics by Dwitya Sobat Ady Dharma
Munsyid: Semua anggota penulis rabu FLP (masih dipetimbangkan hihi)

Tiada yang kurasa
Selain nikmat-Mu ini
Yang mengalir lembut
Di dalam hati

Ketika aku buka
Lembaran kisah kita
Ada duka dan tawa
Di dalam jiwa…

Reff.
//Menulislah
Sebelum tinta
Itu mengering dan tertutup

//Menulislah
Kar’na sejarah
Takkan pernah terulang lagi

Menulis sampai nanti
Menulis sampai nanti
Kisah Penulis Rabu
Lyrics by Dwitya Sobat Ady Dharma
Munsyid: Semua anggota penulis rabu FLP (masih dipertimbangkan hihi)

Ada sebuah kisah
Yang tercipta indah
Insan yang bertemu
Setiap Rabu

Ilmu yang dikaji
Kami taddaburi
Dan juga membaca
Hasilkan karya

Reff:
//pada pena yang terangkat
Sampaikan kebenaran
Kar’na da’wah bil qolam
telah menjadi piihan kami

//pada pena yang terangkat
Sampaikan kebenaran
Inilah kisah kami
Kisah para penulis Rabu

Jumat, 03 Desember 2010

Sobitusa: A Memoir of the Weird Years

Rabu, 16 Agustus 2006

Pagi itu, aku terus memutar-mutarkan bola mataku. Ini adalah hari pertamaku mengikuti seminar, lebih tepatnya workshop tunanetra. Bagi mahasiswa baru sepertiku, mencari lokasi tempat acara berlangsung bukan hal yang mudah. Makanya beberapa hari sebelum itu, aku sudah mencari ruang sidang 2 agar saat hari H aku tak perlu lagi repot-repot mencari. Ternyata, semuanya berantakan. Tepat di pintu masuk parkir FIP, ada selembar kertas yang di tempel: pemberitahuan bahwa workshop tidak jadi dilaksanakan di ruang sidang 2, tapi di auditorium. Ya Allah, mana lagi itu?

Aku lantas bertanya kepada mbak-mbak yang sedang berjalan tepat di sampingku. Beliau mengatakan jika auditorium ada di dekat perpus. Setelah mengucapkan terimakasih, aku lantas meninggalkannya. Namun setelah beberapa saat berjalan, aku tersadar bahwa aku belum bertanya sesuatu yang urgen: letak perpus pun aku tak tahu!! Belum lagi perpus FIP atau pusat. Wadhuh!



Aku yang pemalu ini lantas berputar-putar di kampus tanpa tahu arah. Aku melintasi gedung BEM Univ (sekarang lemlit di depan FISE), berjalan terus ke arah barat dan tahu-tahu melintasi MIPA yang di depannya terdapat Masjid Mujahidin.

Ah, aku terus berjalan berbelok ke arah timur dan ingin bertanya lagi. Kulihat ada dua orang mahasiswa yang sedang berjalan di depan Aula Regristasi Unit 2 FIP (sekarang Museum Pendidikan Indonesia, belakang Rektorat). Namun aneh, tiba-tiba dua orang itu malah berjalan mendekatiku tanpa disuruh.

“Mas, mau tanya nih. Auditorium itu sebelah mana ya?” tanya seseorang di antara mereka

Aku sedikit tersentak. Lalu langsung kujawab, “Mbak dari PLB juga, ya?”

“Iya,” kata mereka serempak.

“Aduh, maaf. Aku juga dari tadi nyasar nggak nemu-nemu dimana auditorium.“

Kulihat raut muka mereka berubah. Dengan pasrah, kami bertiga pun kembali menyusuri UNY dan mencari auditorium yang entah berada dimana....

Setelah beberapa hari, aku baru tahu kalau mereka bernama Icha (Erlisa) dan Cucu. Dua orang yang ingin kutanyai, tapi malah balik bertanya.... Yah, Icha dan Cucu adalah dua orang yang pertama kali kukenal dengan pertemuan yang sangat aneh.



Sabtu, 26 Agustus 2006.

Berhubung dua hari lagi sudah OSPEK, hari ini pun banyak teman yang datang ke FIP. Yang pertama kali menyapaku saat itu di dekat koridor adalah Hari Prasetyo. Kami berdua lantas muter-muter UNY untuk membuat toga kertas dan papan nama berwarna hijau. Karena banyak yang dipersiapkan, kami membelinya di samping BEM Univ dengan harga 10 ribu perbuah. Setelah semua komplit, dengan bangga kami pun kembali ke fakultas. Tak disangka, di samping utara koridor, kami bertemu Berti yang mengaku dari PLB juga. Dengan malu-malu ia menghampiri kami. Ternyata ia mau meminjam toga dan papan nama kami dan lantas dijiplak di atas kertas koran! Hihi...



Barang yang harus dipersiapkan saat Ospek pun cukup membuat kami penasaran karena berbentuk teka-teki. Ada “minuman keruh bervitamin”, “air mineral 95 mili”, “bantal bergizi”, bahkan “kursi lipat”. Aku sempat berdecak kagum saat Hari benar-benar membeli kursi lipat berwarna merah, padahal kursi lipat yang dimaksud adalah kertas koran untuk alas duduk!!



Selasa, 29 Agustus 2006,

Hari ini, hari pertamaku OSPEK. Dengan mengenakan baju putih, dasi, celana dan sepatu hitam, serta aneka atribut, aku berjalan di kerumunan mahasiswa di samping hutan mlanding (sekarang Pasca Sarjana). Di dekat hutan yang sejuk itu, aku berkenalan dengan Arvi dan Amel. Mereka mengenakan tas berwarna biru beraksen kuning. Saat itu aku sering bingung untuk membedakannya. Yang menjadi penanda adalah tahi lalat di dagu Arvi yang sekarang telah di operasi. Saat memanggil pun yang pertama kali aku lihat adalah dagunya biar tidak keliru.



Di OSPEK Univ, aku masuk gugus Frobel. Tidak ada teman PLB yang kutemui di sini. Baru saat Ospek Fakultas, aku satu kelompok dengan Danu dan Galih di gugus 1 Director yang mendapatkan predikat gugus terbaik. Saat itu, aku sangat was-was. Apalagi waktu itu banyak kasus yang di blow up di televisi tentang kekerasan saat OSPEK. Aku takut di kerjain macam-macam, dipukuli, disekap, digunduli.... Tapi, ternyata itu semua tak berlaku di UNY. UNY adalah kampus pendidikan yang ramah. OSPEK pun lebih banyak diisi dengan diskusi dan bernyayi



“Di tengah-tengah gedung, di tempat yang menghijau, mahasiswa FIP UNY berkumpul. Berdiskusi bersama, menambah wawasannya, membahas pendidikan Indonesia.... Kawanku..kawanku..kami semua dari FIP. Bersama teman-teman, tunaikan kewajiban, mendidik putra-putri Indonesia.”



Selasa, 22 Desember 2009 (the time running so fast)

Aku duduk di gazebo Barat bersama Safrina dan beberapa guru yang mengambil PKS─Program Kelanjutan Studi. Aku dan Safrina duduk di gazebo bukan tanpa alasan─merencanakan misi rahasia yang kami anggap sebagai bubuk amunisi, yang semoga bisa meledak. Kami membuat novel! Bercerita tentang manusia tertindas dan berdarah-darah melawan kemunafikan dunia. Tokoh utamanya cukup misterius, menyukai menulis padahal dia sendiri tidak bisa menulis ─banyak ahli yang menyebutnya cerebral palsy. Ia berkata keras, dan aku mencatat kata-katanya dalam otakku. Aku tahu, aku harus mengingatnya secara detil karena tokoh utamanya adalah dia sendiri: Safrina─gadis cerebral palsy yang pernah berpikiran untuk bunuh diri lantaran pohon kesayangannya ditebang dan dibuat pasca sarjana.



Alhamdulillah, minggu kedua Ramadhan 1431 H, Agustus 2010 (delapan bulan kemudian), kumpulan cerita parodi yang di-publish oleh Forum Lingkar Pena berhasil di-launching. Di buku itu ada karyaku dan Safrina. Meskipun bukan buku komersil, tapi ini adalah pemantapan diri kami sebagai pejuang pena. Semangat, Nin!!



Rabu, 3 November 2010

Hari ini aku, Andri, Amel dan Arvi duduk di belakang pasca sarjana, tepat di samping jungkat-jungkit berwarna ngejreng. Hari ini Arvi dan Amel memberikan kabar gembira jika utang wirausaha “PMW” 9,3 juta sudah dilunasin karena mereka di bulan November ini akan wisuda. Ah, jadi teringat si Hari, temanku saat muter-muter mencari penugasan OSPEK empat tahun lalu juga akan wisuda. Safrina malah sudah wisuda Agustus lalu. Sedang Andri, Icha, dan Cucu sudah menyelesaikan pendadaranya. Akan banyak yang wisuda bulan ini!!



Selasa 30 November 2010

Aku masih berkutat dengan BAB IV skripsi. Sudah beberapa minggu ini lokasi penelitianku di Muntilan tertutup abu (Merapi sedang curhat nih!!).... Aku teringat, hari ini dua tahun lalu (2008), aku ikut Seminar Melatih Motorik Halus Anak di Jogjakarta Internasional Hospital (JIH). Aku nebeng Andri saat ke tempat itu, sampai sana pun, alhamdulillah dapat mug JIH lantaran ikut lomba joged bareng Rini. Orang Magelang emang pada jago joged hihi...



Kawan, banyak kisah yang tercipta dan akan selalu teringat di sini (sambil menepuk dada). Kisah itu memang tak pernah terulang kembali, namun tenang saja. Kisah kita belum selesai dan tak kan pernah selesai.

Still not end yet,guys...

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...