Kamis, 09 Desember 2010

KHADIJAH; CINTA YANG TAK PERNAH MATI Oleh: Mbak Reni Nuryanti (diposting dengan izin penulis aslinya via sms)

Usia dan Kematangan Jiwa
Pergelutan dan pergulatan melawan nasib, tidak pernah menafikan penopang sebagai kekuatan pejuang. Ketika harta dan pasukan adalah kekuatan fisik yang tiada terganti, maka perempuan adalah daya psikologis yang tidak mungkin ditinggalkan. Perempuan—posisinya sebagai istri adalah bara yang menyalakan kekuatan suami. Semua ini tidak lepas dari kematangan jiwa yang mengalirkan sentuhan keikhlasan untuk memberi, meski tidak selalu menerima. Semua hanya mampu diberikan oleh perempuan yang mengenal dahsyatnya pernikahan sebagai ikatan ukhrawi yang dibalut oleh cita-cita untuk ‘membesarkan dan menumbuhkan.’
Bukan perkara ‘tambah’ karena sifatnya kuantitatif, tetapi ‘tumbuh’ yang menautkan kualitas seseorang. Perempuan hadir untuk menjadikan kualitas yang melekat pada laki-laki, semakin termanifestasi dalam kehidupan. Tidak heran, orang-orang besar dalam sejarah, selalu menyerap energi dari perempuan. Dan yang menarik adalah, mereka kerap memilih perempuan yang lebih tua.
Sukarno misalnya, menikah dengan perempuan yang 15 tahun lebih tua, bernama Inggit Garnasih. Demikian juga Napoleon Bonaparte yang ‘besar’ dengan kekuatan Josephine, seorang janda yang 12 tahun lebih tua. Dan dalam sejarah agung, Khadijah adalah cermin kekuatan Muhammad dalam masa-masa paling sulit perjuangan menyebarkan Islam. Khadijah binti Khuwailid, janda, seorang pebisnis tersohor di Mekah yang 15 tahun lebih tua itulah, yang akhirnya mendampingi Muhammad. Saat menikah, Khadijah berusia 40 tahun, sedangkan Muhammad menginjak usia 25.
Umumnya orang-orang besar juga mengambil istri dari perempuan berpendidikan formal yang relatif biasa, tetapi matang dalam pengalaman hidup. Inggit Garnasih misalnya, tidak tamat madrasah. Namun, ia sanggup mendampingi Sukarno untuk mengepakan sayap perjuangan di tahun 1920-an, bahkan menopang hidup selama kuliah di Bandung. Inggit adalah perempuan yang paling lama mendampingi Sukarno, sebelum akhirnya dicerai pada tahun 1943, karena Sukarno mencintai Fatmawati. Selama 20 tahun, Inggit mendampingi Sukarno—sebuah masa yang paling mendebarkan dalam hidup Sukarno, dilewati dengan sempurna. Demikian juga Josephine. Ia tidak banyak menyentuh bangku sekolah. Namun cintanya pada Napoleon, tetap menyejarah. Di atas segala intrik perselingkuhan, Napoleon tetap mengakui bahwa Josephine adalah kekuatannya. Tidak berlebihan sehingga ketika meninggal, satu nama yang disebut adalah, “Josephine.” Tidak berbeda dengan Khadijah. Ia bukan sosok tersohor dalam ilmu pengetahuan. Namun, karunia akal yang cerdas serta kelembutan jiwa itulah, yang sanggup meluluhkan hati Muhammad.
Kematangan jiwa yang ditampakan oleh Khadijah, menjadikan Muhammad tegar dalam perjuangan yang tidak pernah sepi dari tantangan. Seruan Islam yang digemakan pada saat ia menjadi nabi, harus dibayar mahal. Muhammad kerap menghadapi siksaan dari pembesar Quraisy. Demikian juga tidak sedikit harta yang dicurahkan Khadijah untuk biaya perang. Segalanya Khadijah berikan karena kekuatan spiritualnya yang tinggi. Kekuatan itulah yang menjadikan Muhammad menempatkannya sebagai perempuan agung, sejajar dengan: Mariam, Fatimah, dan Asiyah.


Pendobrak Tradisi Patriarki
Khadijah binti Khuwailid, lahir dan besar di Mekah. Pada masa itu, Mekah dihiasi oleh peradaban hedonis yang menempatkan kekayaan, otoriritas, dan kepemilikan anak. Para pembesar yang umumnya adalah para pedagang, membangun rumah-rumah bertingkat yang kokoh. Mereka pada umumnya juga memiliki wewenang dalam kehidupan masyarakat, terutama keyakinan yang menetapkan: Latta, Uzza, dan Manat sebagai Tuhan. Selain dua hal tersebut, kepemilikan anak juga menjadi prestise tersendiri. Apalagi jika keluarga didominiasi anak-anak laki-laki, mereka akan merasa semakin berkuasa. Tidak heran, sehingga masyarakat Arab memangku budaya patriarki yang secara tidak langsung ‘menundukan’ perempuan. Mempunyai anak perempuan dalam jumlah yang banyak adalah ‘siksa batin’ bagi mereka.
Khadijah tumbuh sebagai perempuan terpandang. Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah, sedangkan ayahnya, Khuwailid. Mereka dikenal menolak penyembahan terhadap berhala yang dianggap melanggar ketentuan agama Ibrahim. Sikap mereka juga didukung oleh saudara sepupu Khadijah, Waraqah ibu Naufal Ibnu Asad, yang dikenal sebagai seorang yang weruh sadurunge winaruh (mampu menafsirkan masa depan).
Khadijah pernah menikah dua kali. Dengan suami pertamanya, Abu Halah an-Nabbasyi Ibnu Zurarah at-Taymi, Khadijah dikaruniai dua anak laki-laki: Hindun dan Halah. Pernikahan itu berakhir, karena sang suami wafat. Khadijah kembali menikah dengan Athiq Ibnu Aid a- Makhzumi dan dikaruniai anak laki-laki yang juga dinamai Hindun. Pernikahan kedua juga berakhir. Sayang, tidak ada data yang menyebutkan sebabnya. Dalam buku biografi, Khadijah; The True Love Story of Muhammad, Abdul Mun’in Muhammad juga tidak menuliskan.
Selepas menjanda, Khadijah fokus pada bisnisnya. Banyak kafilah yang mencoba melamar, namun sosok yang dijuluki ‘wanita suci ini’ menolak. Hingga akhirnya, hatinya tergetar dengan sosok Muhammad yang dikenal sebagai seorang yang jujur. Rasanya sebuah keajaiban, saat Khadijah memutuskan perkara pengiriman misi dagang ke negeri Syam kepada pemuda kalem yang baru dikenalnya. Mati hati Khadijah terbuka saat ia dihadapkan pada pemuda: santun, cerdas, sederhana, dan pandai menjaga penampilan. Postur Muhammad yang: seimbang, tidak terlalu pendek dan tinggi, tidak terlalu gemuk dan kurus, sanggup menggelorakan asmara Khadijah.
Berbekal keteguhan prinsip dan inisiatif, Khadijah memberanikan diri menemui saudaranya, Nafisah binti Umayyah, untuk menyampaikan niatnya menikahi Muhammad. Gayung bersambut. Muhammad yang semula tidak yakin, akhirnya menerima lamaran Khadijah. Berkat bantuan pamannya, Abdul Muthalib (Abu Thalib), Muhammad yang tiada berharta, mampu menghadiahkan 20 ekor unta kepada Khadijah. Pernikahan agung itu terjadi pada 2 bulan 15 hari selepas Muhammad datang dari Syam.
Keberanian Khadijah untuk melamar dan menikah dengan Muhammad, adalah gebrakan baru. Pada masa itu, perempuan Mekah pada umumnya hanya menunggu untuk dipilih. Namun tidak bagi Khadijah. Ia memulai sikap melawan tradisi dengan terang-terangan melamar Muhammad—sebuah keberanian yang mendebarkan. Cibiran memang tidak sepi. Bahkan, cacian datang silih berganti. Khadijah teguh bahwa sikapnya benar. Dan sejak itu, tradisi patriarki mulai terguncang. Khadijah memulai sikap: perempuan harus berani membuat pembaharuan yang dilandaskan pada kebenaran.

Cinta yang Tak Pernah Mati
Di usianya yang sudah kepala empat, Khadijah melahirkan. Qasim, Zainab, Rukayah, Ummu Kultsum, Fatimah, terlahir dengan jarak yang pendek. Sedangkan Abdullah, lahir saat Khadijah mencapai usia 56 tahun. Kebahagiaan dan kesedihan silih berganti, salah satunya saat Khadijah harus kehilangan dua anak: Qasim dan Abdullah. Kematian itulah, yang mengguncang batin Khadijah dan Muhammad. Keinginan mempunyai anak laki-laki hanya menjadi impian. Namun, tangisan bukan pengganti yang telah pergi. Muhammad sendiri berucap, “Air mata boleh mengalir, ahti boleh sedih, tetapi lisan hanya boleh mengucapkan apa yang membuat Allah ridha. Kami sungguh bersedih atas kematianmu.”
Khadijah memaklumi, anak hanya titipan. Ia tidak berlarut dalam kesedihan. Tugas besar menanti, ketika Muhammad sudah mulai beruzlah (mengasingkan diri) ke Gua Hira untuk menyepi, mencari makna hidup, dan menepi dari hiruk pikuk kota Mekah yang semakin ‘brutal’ oleh kehidupan duniawi. Khadijahlah yang menyiapkan segala keperluan. Selama sebulan Muhammad menyepi di Gua Hira dan selama itu pula, Khadijah melayani keperluannya. Semua urusan keluarga dan dagang, Khadijah tangani sendiri bersama kerabatnya.
Keikhlasan Khadijah makin teruji saat Muhammad memasuki fase kenabian di usia empatpuluh. Pemberitaan Waraqah kepada Khadijah bahwa Muhammad adalah sosok nabi, makin membuatnya yakin. Ia percaya bahwa suaminya yang diberikan anugerah oleh Allah untuk menyucikan agama Ibarhim. Maka Khadijah semakin menata diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Semua makin terkuak, saat Muhammad menerima wahyu pertama di Gua Hira. Pada saat itu, Jibril memeluk Muhammad sambil mengucapkan, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq [96]: 5)
Muhammad berlari pulang dengan muka pucat. Tubuhnya mengigil dan berseru, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah mendekap lembut, menguatkan perasaan saat Muhammad menyangka semua adalah ilusi. Khadijah mengatakan, “Tidak mungkin. Aku memohon agar Allah melindungimu dari semua itu. Allah tidak akan melakukan itu kepadamu karena engkau adalah orang yang jujur, terpercaya, berakhlak mulia...” Beberapa kali, Muhammad merasakan hal yang sama, hingga puncaknya, ia hampir pingsan setelah menerima seruan QS Al Qalam [68]: 1-6. Khadijah yakin sepenuhnya, bahwa suaminya memang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah. Sejak itulah, dengan keteguhan hati, ia mengatakan, “Aku beriman kepadamu ya Rasulullah.” Sejak itu pula, Muhammad lebih akrab dengan panggilan, Rasulullah. Betapa agung sosok Khadijah di mata Muhammad. Ia adalah orang pertama yang mengimani, saat hati dan pikirannya terguncang. Tak lama setelah itu, seluruh keluarga Muhammad menyatakan masuk Islam.
Fase kenabian telah menyumbul. Muhammad kemudian menerima ajaran Shalat yang sekaligus menjadi momentum terbuka penyebaran Islam di Mekah. Setiap hari, Muhammad melakukan shalat di Kabah dan sejak itu pula, cobaan mulai datang menyapa. Kelompok orang yang terancam agamanya, antara lain: Abu Lahab dan Abu Jahal, mulai memusuhi Muhammad. Beberapa kali, ia harus menhadapi siksaan fisik hingga hampir terbunuh.
Dalam suasana penuh penderitaan itulah, Khadijah mendampingi Muhammad sebagai teman setia. Ia adalah gambaran dari: ibu, kekasih, dan kawan. Kehadiran Khadijah adalah penguat yang mengencangkan tali dakwah Muhammad. Keikhlasan menerima kehidupan yang sarat tantangan adalah bukti, Khadijah memang sulit dicari bandingannya. Begitu mulia, sehingga Allah menjanjikan rumah berhias bermata di surga. Muhammad tidak bisa memungkiri, betapa ia memang sangat berhutang cinta pada Khadijah.

Nama Khadijah tetap lekang dalam ingatan Muhammad. Tidak seorangpun ia biarkan menghina. Muhammad bahkan pernah marah dengan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain”, saat Aisyah cemburu.
Aisyah mengakui bahwa di antara sepuluh istri Muhammad, Khadijah yang paling membuatnya cemburu. Penulis biografi Aisyah; The True Beauty, Sulaiman An-Nadawi, menuliskan, “Seperti tidak ada perempuan lain di dunia ini selain Khadijah.” Demikian juga menurut Abdul Mun’in Muhammad, Aisyah pernah merajuk kepada Muhammad dengan mengatakan, “Rasulullah hampir tidak pernah keluar rumah tanpa menyebut dan memuji Khadijah. Hal itu membuatku cemburu. Kukatakan, bukahkah ia hanya wanita tua renta dan engkau telah diberi pengganti yang lebih baik darinya?”
Cinta yang menguatkan—itulah yang Muhammad dapatkan dari Khadijah. Saat cinta dihadapkan pada sebuah perjuangan, fisik bukan menjadi ukuran. Kematangan jiwalah yang menjadi sandaran sehingga dalam kelelahan, Muhammad dapat mengadukan hiruk-pikuk perasaannya. Keteguhan seorang istri dalam ‘membesarkan’ suami itulah yang akan menitikan tinta keabadian dalam sejarah pernikahan. Semuanya, sudah Khadijah warisan dengan paripurna. Fisik boleh rapuh, raga bisa jadi telah membumi, tapi tidak dengan semangat memberi yang selalu menaungi. Bisakah kita seperti Khadijah, wahai para muslimah?


** The Best Young Researcher in Social and Cultural of LIPI 2008 dan dosen FKIP Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Samudra, Langsa.

Tidak ada komentar:

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...