Senin, 11 Juni 2012

Pendidikan Inklusi dalam Alquran


Pendidikan inklusi merupakan pendidikan memberikan kesempatan yang adil kepada anak untuk bisa mengikuti pendidikan tanpa perbedaan gender, etnik, status sosial-ekonomi dan kemampuan. Salamanca Statement menyebutkan bahwa pendidikan inklusi berarti sekolah mencakup semua kondisi anak baik itu fisik, intelektual, sosial ekonomi, linguistik, dari penyandang cacat maupun anak berbakat, anak jalanan dan pekerja, anak dari populasi terpencil, etnis minoritas atau anak yang berasal dari daerah kurang beruntung. Pendidikan inklusi menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu siswa, agar kebutuhan individu anak terpenuhi.

Dalam Islam, pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi salah satu perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Allah SWT berfirman dalam Surat ‘Abasa ayat 1-11, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada (Allah). Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali janganlah (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan adalah suatu peringatan.”

Surat tersebut dikisahkan dalam Al Qur’an ketika Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Kemudian datanglah Ibnu Ummi Maktum (Abdullah bin Ummi Maktum), seorang sahabat yang buta dan berharap agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  membacakan kepadanya ayat-ayat Al Qur’an yang telah diturunkan. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum. Kemudian Allah menurunkan Surat ‘Abasa sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap Abdullah bin Ummi Maktum.

Berdasarkan ayat tersebut, pendidikan sudah seharusnya dilaksanakan, tak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Islam telah memperhatikan pendidikan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang islami tanpa membedakan keterbatasan yang ia miliki. Semua itu diberikan agar seorang anak berkebutuhan khusus dapat mengetahui batasan dan petunjuk yang dapat mengantarkan dirinya kepada kehidupan yang lebih berkualitas. Dalam menjalankan misi pendidikannya, Islam terlebih dahulu mempersiapkan dan memfokuskan pada individu secara personal yang dimulai dari pembentukan akhlak mulia. Menurut Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, hal ini dikarenakan Islam menilai bahwa individu harus dapat merajut hubungan kekeluargaan dalam masyarakat yang dibentuk secara fitrah, nilai-nilai, dan pemahaman kemanusiaan. 

Allah SWT berfirman dalam Surat Al Kahfi ayat 46, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Hal ini menjelaskan bahwa membentuk pribadi anak berkebutuhan khusus merupakan keharusan yang dapat dilakukan melalui pendidikan yang berkualitas dan islami tanpa terkecuali.

Aktivis Prestatif yang Didamba


Mahasiswa mendapatkan tanggung jawab khusus untuk dapat memberikan kontribusi solutif bagi permasalahan kehidupan bangsa, yang lebih jauh lagi dapat merubah keadaan politik suatu negara. Hal ini berpijak dari peran mahasiswa sebagai agen perubahan, cadangan masa depan dan garda terdepan sangatlah tinggi.

Dalam kegiatan yang dilakukan di perguruan tinggi, nilai akademik memang penting untuk kelancaran perkuliahan. Akan tetapi, proses belajar peserta didik tidak hanya sebatas penguasaan ilmu pengetahuan saja. Mahasiswa juga harus memiliki karakteristik positif misalnya peka terhadap isu-isu nasional.

Memang, mahasiswa tidak dapat mengandalkan akademik semata untuk mengembangkan potensi dan memantapkan kepribadian. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki wadah yang berorientasi pada kegiatan di luar akademik bagi pengembangan kualitas dan kapasitas diri, misalnya Badan Eksekutif Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, maupun Unit Kegiatan Mahasiswa.

Akan tetapi, melalui wadah inilah mahasiswa dengan segala idealismenya sering melakukan aksi-aksi untuk menuntut segala sesuatu yang dipandang tidak ideal. Patut disayangkan, dengan adanya tindak aksi-aksi yang berujung pada perusakan, sesungguhnya peran mahasiswa patut dipertanyakan apakah mereka mengerti akan apa yang diperjuangkan atau hanya sekedar ikut-ikutan?

Mahasiswa yang mengerti demokrasi seharusnya dapat menyuarakan persoalan etika, budaya dan sosial secara independen dan dengan penuh tanggung jawab intelektual. Dan hal tersebut tidak terlihat dalam aksi mahasiswa yang tidak tahu makna demokrasi, dimana cenderung berbuat anarkis. Padahal, barang-barang yang ikut dirusak (misalnya mobil dinas, pagar, maupun kaca gedung yang dipecahkan) juga merupakan uang rakyat yang seharusnya dijaga dengan baik.

Maka, tidak berlebihan bila aktivis kampus yang cenderung anarkis tidak dapat dikategorikan sebagai agen perubahan, cadangan masa depan dan garda terdepan. Sejatinya, mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan karya solutif untuk kelangsungan dan kehidupan bangsanya, baik secara akademik maupun non akademik. Akan lebih baik lagi jika mahasiswa aktivis berlaga melalui tulisan di surat kabar. Melalui jalur ini, kapasitas intelektual mahasiswa akan semakin diakui daripada sekedar teriak-teriak di depan gedung dewan yang belum tentu didengar.

Tentu saja sebagai mahasiswa yang mengerti akan kewajibannya sebagai pembelajar, nilai akademik tetap menjadi sesuatu yang harus dijaga. Boleh dibilang belum banyak mahasiswa yang dapat mengimbangkan kegiatan akademik dan organisasi, yang biasanya mahasiswa aktifis dengan nilai tipis atau mahasiswa dengan IPK tinggi tapi minim organisasi.

Jumat, 27 Januari 2012

Strategi Pembelajaran Memang Harus Beda (Kisah Antara Ngajar Anak Difabel, SMA, dan SD)




Selagi muda, kita emang harus mencoba segala sesuatu yang positif. Nah, bagi kita yang lulusan sarjana pendidikan, banyak-banyak deh cari pengalaman mengajar (apapun jurusannya). Selain membuat diri kita menjadi lebih kreatif, juga akan mengembangkan diri dan membuat kita tidak konservatif.
Walau lulus belum ada satu tahun, saya pernah mencicipi ketiga hal tersebut-mulai dari anak difabel, siswa SMA, dan anak SD. Beda bangetlah cara ngajarnya. Kita pun harus pinter-pinter ngrebut hati mereka, supaya kita jangan sampai makan ati (cz kalo udah makan ati, rasanya sakiiiiiit banget. Percaya deh!)
Dimulai dari siswa difabel. Yah, ini pengalaman saya mengajar untuk pertama kali di kelas. Secara emang waktu itu saya dapet kesempatan KKN di Yayasan Anak-Anak Tuna (YAAT) Klaten. Di sana sebagian besar tunanetra (masalah di penglihatannya), tapi ada juga yang tunadaksa dan hidrocepalus. Satu yang bikin aku harus puter otak banget kalo ngajar anak difabel: MEREKA NGGAK BISA NGELIHAT! Pernah aku ngajar biologi anak kelas 7. Gimana coba cara ngejelasin apa itu sel, sedangkan mereka lihat sel aja belum pernah? Terus istilah-istilah abstrak yang kadang nggak kejangkau sama nalar kalo harus dikongkritkan? Apa iya mereka tahu pelangi itu yang kaya gimana, terus konsep warna, bintang, bulan.... nah, makanya guru pun harus kreatif. Yang penting jangan underestimet dulu deh, toh dari beberapa anak di YAAT ada yang pernah dapet rekor MURI. Keren nggak tuh!!

Nah, beda lagi nih kalo ngajar siswa SMA. Secara saya masih muda, kayaknya emang keakraban bisa muncul dengan sendirinya. Jarak umur pun tak terlalu jauh, jadi ya...gitchu deh. Bahasa untuk komunikasi di cyber pun bahasa-bahasa alay. Kalo strategi untuk ngajar, yang pertama kita emang harus paham betul materinya. Jangan sampai kita ngajar tapi malah lebih pinter muridnya. Dong dong banget nggak sih! Apalagi kan putih abu-abuers itu kritis banget. Yang kedua, tentang bagaimana membawa suasana belajar menjadi lebih menarik. Jangan sampai kita udah cuap-cuap ngoceh di depan, eh....siswanya malah bobok manis. Sungguh terlalu..hiks..hiks...
Kalo ngajar anak SD...krik....krik...(speacless aku). Tampaknya membawa suasana menjadi lebih menarik mendapat porsi yang lebih tinggi daripada materi (ini khusus anak-anak kelas bawah, kelas 1 dan 2). Pernah nih, saya marmosi gara-gara anaknya rame....dolanan bekel pas pelajaran, nggambar-gambar gak jelas, atau kejadian pekan lalu:pas lagi ngejelasin di depan kelas, tiba-tiba ada yang jorog-jorogan, trus malah nangis-nangisan....ya Allah....berilah hamba kesabaran... Perasaan saya dulu pas SD nggak se-ekstrem itu deh...

Beda anaknya, beda cara ngajarnya. Itu udah pasti. Tapi dari ketiga pengalaman itu, ada satu persamaan. Saya selalu menganggap mereka itu saudara! Bahkan sampai sekarang pun saya masih berkomunikasi dengan banyak siswa, walaupun kini saya nggak ngajar mereka lagi. bagi saya, mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan. Saya pun pengen suatu hari nanti ada yang menyapa saya di jalan, terus mereka bilang, “Pak Sobat, masih inget saya nggak? Saya murid bapak dulu....” Wiiiii merinding disko. Biar kita disapa suatu hari nanti, makanya jangan jadi guru galak, judes, killer, menyebalkan, berdarah dingin, jarang senyum, sok otoriter, beri PR kebanyakan....weleh...weleh....
Yup, saya suka mengajar karena emang hobi saya...hehey....ceritanya lanjut besok yah....

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...