Selasa, 24 Maret 2020

JOGJA KOTA INKLUSI

DWITYA SOBAT ADY DHARMA

Difabel sebagai salah satu komunitas masyarakat kadangkala tidak mendapatkan hak-haknya dan cenderung terpinggirkan. Tidak heran jika kemudian paradigma masyarakat terlanjur memberi label negatif yang berdampak buruk bagi perkembangan sosial panyandang difabel. Implikasi sosial dari difabilitas dapat dilihat dari berbagai perlakuan dan kebijakan masyarakat tentang difabel. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial penyandang difabel yang menyangkut partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi.
Perlu diakui bahwa usaha-usaha pencitraan positif bagi penyandang difabel telah gencar dilakukan, misalnya memperluas akses pendidikan, pertunjukkan bakat minat, sampai memperbanyak akses fasilitas sosial yang memudahkan difabel beraktifitas. Sistem birokrasi yang mempermudah difabel dalam berkontribusi dalam masyarakat juga memiliki andil besar dalam usaha pencitraan positif. Usaha ini sejalan dengan perubahan pandangan dunia modern terhadap difabel dimana sekarang tidak lagi dianggap orang cacat dan perlu disantuni, tetapi sebagai individu yang mandiri, dapat melakukan keputusan sendiri dan memiliki hak dalam bermasyarakat.
Berkaca pada Peraturan Walikota DIY No. 8 tahun 2014 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, maka pemenuhan hak-hak bagi difabel harus diupayakan, apalagi jika menyangkut hak dasar difabel. Kondisi menguatnya partisipasi aktif difabel merupakan dampak dari berbagai kebijakan pemerintah, seperti jalur khusus difabel dalam penerimaan pegawai negeri, pencanangan kawasan Malioboro sebagai kawasan ramah difabel, merebaknya sekolah-sekolah inklusi, maupun dibangunnya fasilitas umum yang dapat diakses difabel.
Pencanangan Kota Yogyakarta sebagai Kota Inklusi harus disertai dengan partisipasi aktif dari semua pihak. Segala kebijakan publik dalam berbagai sektor mulai dari politik, sosial, budaya, hukum, HAM, bahkan pendidikan seyogyanya dapat mengakomodasi kebutuhan difabel sehingga kota inklusi yang ramah bagi difabel dapat benar-benar dirasakan oleh semua pihak.

BENCANA BISA DATANG KAPAN SAJA (BAGIAN 2)

DWITYA SOBAT ADY DHARMA

Berita bencana alam di televisi mungkin hanya akan dikalahkan oleh berita korupsi atau para aktivis yang sedang berdemo. Hal ini jelas, negeri kita tercinta ini memang rawan bencana! Mulai dari banjir, gunung meletus, longsor, gempa bumi, sampai peristiwa yang paling konyol: serbuan ulat bulu di Bekasi. Entahlah, mungkin Tuhan memang menganugerahkan negeri ini dengan banyak masalah agar semakin kreatif. Tapi kenyataannya tidak demikian. Banyak difabel netra yang malah semakin merana karena sedikit orang yang peduli. Tampaknya serius, ya!
Baiklah, apa sih yang tebersit dalam pikiran kamu saat mendengar kata difabel netra? Orang yang malang dan selalu bergantung pada orang lain? Atau mungkin pihak yang harus mendapat santunan dan bernyanyi-nyanyi di pingir jalan? Wah, kamu ketinggalan jaman! Banyak kok dari difabel netra yang berprestasi. Tapi memang harus diakui banyak orang yang berkata seperti itu. Sebabnya jelas: akses para difabel untuk dapat mengembangkan diri yang berorientasi pada prestasi sangat minim. So, memandirikan difabel netra merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Jika difabel netra mampu mandiri di masyarakat, maka citra positifakan terbangun sehingga pandangan miring dapat diminimalisasi.
Mandiri bagi difabel netra mungkin tak hanya mandi sendiri atau paling tidak bisa menjaga agar cabe yang baru dimakan tidak nyelip di gigi. Mandiri bagi difabel lebih dari itu jika kita tinggal di Indonesia. Kalian tahu maksudnya kan? Coba pikir sekali lagi. Hmm…begini: Apa yang bisa kalian bayangkan jika ada difabel netra yang terjebak dalam situasi gempa? Menjerit-jerit, heboh, tampak galau, risau? Jangan menghakimi, tapi ada juga yang seperti itu.
Ya, mari berbicara masalah solusi, teman! Kejadian heboh itu sebetulnya bisa diminimalisasi jika difabel netra punya kemampuan menyelamatkan diri. Ini penting. Kebanyakan dari difabel belum mengetahui apa yang harus dilakukan ketika gempa berlangsung. Sedikit merefleksi gempa Jogja lalu, tak sedikit korban yang merupakan difabel usia sekolah. Maka untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan pelayanan yang mengarah pada pengembangan aksi tanggap darurat yang menitikberatkan pada kemandirian difabel saat gempa terjadi.
Tapi, sebetulnya sebaik apapun tutor melatih aksi tanggap dadurat, akan jadi sia-sia jika kemampuan Orientasi dan Mobilitas (O&M) difabel belum matang. Jadi memang hal pertama yang harus dilatih adalah kemampuan O&M-nya. Melatih kemampuan O&M merupakan upaya untuk mengenalkan dan memberikan akses yang lebih memfasilitasi untuk dapat menyelamatkan diri ketika bencana tiba.
Difabel seringkali terlupakan saat gempa melanda. Oleh karena itu tujuan akhir dalam training O&M adalah membuatnya mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun tidak dikenal dengan aman dan efisien. O&M mengajarkan difabel netra untuk dapat bergerak dan menyelamatkan diri ketika orang-orang melupakannya. Adapun tujuan meningkatkan kemampuan O&M adalah agar difabel netra dapat bergerak dengan selamat, bergerak dengan mandiri, dan dapat bergerak secara efektif serta efisien.
  1. A.     Bergerak dengan selamat
Kemampuan O&M akan memberikan keterampilan kepada difabel netra untuk dapat mengatasi bahaya yang terdapat di sekelilingnya. Dengan indra-indra yang terlatih, difabel netra setidaknya dapat mengetahui bagian-bagian di lingkungannya yang aman untuk berlindung ataupun tempat-tempat berbahaya.
Yang perlu diperhatikan saat gempa bagi difabel adalah[1] harus mengutamakan keselamatan kepala saat gempa. Lindungi diri di bawah meja atau tempat tidur. Berpeganglah pada kaki meja sehingga kepala dan tubuh terlindung dari reruntuhan bangunan dan barang-barang.
Jangan panik dan terburu-buru keluar dari rumah. Jangan biarkan sesuatu menjatuhi badan, dan hati-hati dengan pecahan kaca dan genting yang jatuh. Dalam keadaan panik difabel sering membahayakan diri sendiri.
Rencanakan langkah-langkah penyelamatan dari pecahan kaca dan benda-benda berbahaya lainnya. Pakailah selalu sandal atau sepatu untuk penyelamatan darurat. Jaga jarak dari jendela dan barang yang mudah pecah.
Biasakan membuka pintu dan jendela ketika mulai terasa getaran. Membuka pintu dan jendela bertujuan untuk penyelamatan keluar dari bangunan. Ini untuk mencegah engsel pintu bergeser dan rusak sehingga tidak dapat dibuka.
Matikan kompor atau api secepatnya dan pastikan benar-benar padam. Atau jika kesiulitan, matikan kompor setelah gempa berhenti. Sediakan tabung pemadam kebakaran atau ember berisi air di tempat yang terjangkau. Penuhi air di bak mandi agar bisa digunakan untuk memadamkan api pada saat darurat.
Jauhi dinding yang tidak kokoh. Menjauhlah dari dinding batu ketika kita merasakan gempa di luar ruangan. Dinding yang tidak kokoh dapat meruntuhi badan.
Menurut Irham Hosni (1996) pengetahuan yang diberikan dalam O&M akan membuatnya selamat dalam bergerak pada situasi tersebut.[2] Dengan kemampuan O&M, difabel netra akan lebih waspada di lingkungan, terutama pada saat-saat yang berbahaya.
Kemampuan yang harus menjadi perhatian misalnya: Kemampuan mengenali jalan keluar (jika berada di dalam ruangan), kemampuan menggunakan tongkat, kemampuan menyeberang jalan, kemampuan membedakan suara, kemampuan membedakan bau-bauan, maupun kemampuan menentukan arah.

B. Bergerak dengan mandiri
Horton (1986) berpendapat bahwa “this (O&M training) allows them more freedom and makes them less dependent.”[3] Kemampuan O&M akan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada difabel netra dalam bergerak, sehingga tidak banyak bergantung dan meminta bantuan orang lain. Difabel netra pun dapat menjadi pribadi yang independen dan tidak banyak menyusahkan orang lain dalam bermobilitas.
Saat gempa melanda, dimana kadang orang-orang di sekeliling difabel lebih mementingkan diri sendiri, difabel setidaknya dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya secara independen. Permasalahan lain yang dihadapi difabel adalah kesempatan mereka untuk menyelamatkan diri pada situasi panik sangatlah terbatas karena tidak tersedianya alat transportasi yang aksesibel bagi mereka.
Selain itu, bahwa sistem evakuasi bencana yang ada belum memperhitungkan keberadaan para kelompok rentan termasuk di dalamnya difabel. Sistem evakuasi bencana yang ada masih berdasar pada evakuasi terhadap masyarakat normal. Untuk itu perlu didesain sebuah sistem evakuasi bencana yang memperhitungkan keberadaan para kelompok rentan (vulnerable group) yang meliputi antara lain anak-anak, ibu hamil, lanjut usia dan difabel (Fuad, 2006)[4]. Dan paling tidak memberikan training kepada difabel untuk dapat memperluas akses penyelamatan.

C. Bergerak dengan efisien dan efektif
Difabel netra dalam bergerak dan bepergian tidak berdasarkan pada coba-coba tetapi gerakannya terarah kepada tujuan. Ia akan memilih jarak dan waktu yang paling pendek dan sedikit bergerak. Oleh karena itu, dalam menuju tujuan tersebut difabel netra harus mampu menggunaan indra yang masih berfungsi dengan baik. Indra yang masih berfungsi ini digunakan untuk menangkap informasi dari lingkungan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pelatihan adalah[5] tutor perlu memperhatikan tingkat Orientasi dan Mobilitas difabel netra. apabila ia sudah memiliki kemampuan O&M yang baik, maka tutor perlu memberikan informasi mengenai teknik penyelamatan diri. Akan tetapi jika difabel netra belum memiliki kemampuan O&M yang baik (belum dapat menyelamatkan diri secara mandiri), maka diperlukan pendamping khusus atau teman yang bertanggung jawab yang dapat menolong difabel.


[1]Puthut (ASB Indonesia). 10 Saran Keselamatan Menghadapi Gempa Bumi. Sahabat. Edisi 3, April 2011.
[2]Irham Hosni. (1996). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.h.59.
[3]Horton, J. K.. (1986). Community Based Rehabilitation of The Rural Blind (A Training Guide for Field Workers). New York, USA: Helen Keller Internasional, Inc.h.9.
[4]Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di KabupatenBantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id.
[5]ASB. (2009). AHA, Sekarang Aku Bisa. ASB Indonesia. h. 11.

BENCANA BISA DATANG KAPAN SAJA! (BAGIAN 1)

ogyakarta – Apakah saya sudah mati?” tanya saya. “Apakah ini surga?”
Bukan, Bung,” sahut orang itu. “Ini bukan surga. Ini adalah pulau Pasifik Krakatoa.”
William Pene du Bois, 1947.

Tak usah berdebat lagi! Negeri kita ini memang sangat indah. Bunaken, Bromo, Lembah Baliem, Danau Toba, Merapi…. Sampai-sampai Hall dan Blundell (1996)[1] mengatakan jika Asia Tenggara barangkali merupakan laboratorium geologis paling bagus di seluruh dunia. Ini adalah kawanan spektakuler tempat manifestasi-manifestasi dan proses-proses tabrakan pelat bumi yang bisa diamati kapan saja.
Tapi coba pikir lagi, teman. Apakah negeri kita aman? Hmm…negeri kita paling tidak memiliki 129 gunung api yang masih aktif. Sebagian besar negeri kita pun air, dan yang paling mengagumkan ternyata negeri kita merupakan daerah pertemuan rangkaian Mediterania dan rangkaian sirkuit Pasifik.
Negeri kitaini terletak pada pertemuan tiga lempeng atau kulit bumi aktif, yaitu lempeng Indo Australia dibagian selatan, lempeng Euro Asia dibagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo Australia menghujam ke bawah Lempeng Euro Asia. Sementara itu, berdasarkan data[2] mengenai sebaran risiko gempa bumi, meliputi sekitar  230 kabupaten/kota yang ada di Indonesia mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua, sedangkan daerah atau kabupaten/kota yang berisiko tinggi terkena Tsunami mencapai 150 kabupaten/kota, serta yang beresiko tinggi kena gunung api mencapai lebih kurang 79 kabupaten/kota.
Gempa besar sejak Tsunami Aceh, Padang, Yogya, Nabire, semakin menguatkan posisi negeri kitauntuk berada di wilayah rawan gempa dan menjadi wilayah supermarket gempa.Jadi jelaslah, negeri kita memang rawan bencana. Bencana bisa datang kapan saja dan tanpa ada peringatan terlebih dulu. Saat kita sedang online, saat kita sedang sarapan, sekolah, Ujian Nasional, jalan-jalan, dan di segala waktu yang tak disangka-sangka: kita bisa terperangkap dalam tragedi gempa bumi.
Gempa tak jarang menimbulkan banyak korban, baik seseorang yang sudah mengalami difabel maupun seseorang yang menjadi difabel karena gempa melanda. Persoalan lain yang cukup penting adalah kenyataan bahwa negeri kita ini minim sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem evakuasi bencana alam yang aksesibel terhadap difabel. Dengan demikian,  para difabel menjadi kelompok yang berisiko tinggi saat terjadinya bencana (Fuad, 2006)[3].
Nah, lalu bagaimana orang yang difabel netra[4] dapat menyelamatkan dirinya, sedangkan orang yang tak memiliki keterbatasan penglihatan saja kadang masih sulit dalam menyelamatkan diri?
Jangan takut jangan galau, kawan. Semua ada solusinya!

[1]Dari pendahuluan Tectonic Evolution of South East Asia. Winchester. (2003). Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. h.77.
[2]Basroni Kiran. (2010). Kebijakan Penanganan Bencana Gempa di Indonesia. Diunduh di http://sigapbencana-bansos.info/opini/1543-kebijakan-penanganan-bencana-gempa-di-indonesia.html
[3]Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di Kabupaten
Bantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id.
[4]Difabel netra: istilah lain untuk tunanetra;buta.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat tanggap bencana yang diadopsi 168 negara pada konferensi dunia tentang pengurangan dampak bencana pada tahun 2005 di Kobe. Dalam HFA, dinyatakan peran penting sekolah dalam membangun masyarakat tanggap bencana (UNCRD, 2009: 3). UN/ISDR pun mengkampanyekan pengurangan risiko dimulai di sekolah selama tahun 2006 dan 2007.
Kampanye tersebut ditujukan sebagai pemupukan kesadaran untuk mengutamakan keselamatan sekolah di berbagai negara dan sudah menjadi gerakan global, seperti Pengetahuan dan Pendidikan Dasar Gempa Bumi (Thematic Platform on Knowledge and Education) oleh ISDR dan Gerakan Bersama Dalam Inisiatif Keselamatan Sekolah (Coalition on GlobalSchool Safety Initiatives, COGSS) (UNCRD, 2009: 8).
Di Indonesia pun sudah dibentuk konsorsium Pendidikan Risiko Bencana yang diselenggarakan tahun 2007 lalu. Konsorsium Pendidikan Bencana berfungsi untuk memberikan arahan dan masukan serta memantau dan memonitor kegiatan Konsorsium agar sesuai dengan peta rencana kerja yang disepakati bersama. Komite Pengarah terbentuk pada workshop yang diadakan oleh Konsorsium Pendidikan Bencana tanggal 10 Oktober 2007 dalam rangka memperingati HarPengurangan Risiko Bencana dan terdiri dari LIPI, PMI, MPBI, CBDRM NU, Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC), SC-DRR, World Vision International, UNESCO, dan UN OCHA (Profil KPB, 2011).
Hal ini penting karena anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu di sekolah sehingga kemungkinan gempa bumi terjadi pada saat mereka ada di sekolah sangat tinggi. Oleh karena itu, hal-hal yang sekiranya membahayakan harus bisa dimimalisasi, salah satunya dengan membuat peta bahaya di sekolah (School Mapping Hazard).  Peta bahaya adalah peta yang menyajikan informasi tentang bahaya, pendukung, dan kelompok rentan di dalam ruangan dan lingkungan sekolah yang berfungsi sebagai panduan evakuasi bencana di sekolah (ASB, 2009: 104). Tujuan dari peta bahaya adalah untuk mengurangi risiko bencana yang ditimbulkan akibat gempa.
Sesuatu yang membahayakan di sekolah bagi difabel netra sebetulnya sangat banyak. Sesuatu (benda, tempat) yang tampak tidak membahayakan bisa jadi berbahaya karena difabel netra tidak dapat menggunakan fungsi penglihatannya. Selain itu ada anggapan bahwa desainkebijakan mitigasi, yang menempatkan mereka pada kelompok terakhirdalam penanganannya. Pada level kebijakan praktis di daerah, kaumdifabel juga tidak diposisikan sebagai kelompok yang punya kebutuhankhusus[1]. Berikut ini beberapa contoh bahaya dan beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menguranginya:
BahayaSolusi
Penataan ruang kelasRuang kelas harus aksesibel untuk difabel netra. Aksesibilitas harus mencakup keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan kemandirian. Sebisa mungkin difabel netra belajar di ruangan yang memudahkan ia untuk bermobilitas. Perlu diingat, jika terjadi perubahan tata letak, perlu diinformasikan kepada difabel netra.
LemariLemari jangan diletakkan terlalu dekat dengan siswa maupun guru. Hindari meletakkan barang-barang di atas lemari. Lemari dapat diberi segitiga siku dan dipakukan ke dinding agar kuat.
SelokanDitutup dengan grill agar tak membuat terperosok. Dengan adanya grill, air bisa masuk dalam selokan, kalau ada sampah, grill bisa diangkat dan bisa dipasang kembali.[1]Jika tak ada grill difabel netra bisa terperosok.
TanggaDibuat tidak terlalu curam dan tidak licin
Tiang BenderaTidak dibangun di wilayah yang sering digunakan untuk bermobilitas.
SumurSumur diberi penutup, misalnya papan kayu.
Selain hal yang membahayakan, faktor-faktor pendukung penyelamatan juga dirumuskan. Faktor pendukung ini mencakup segala sesuatu yang dapat mendukung evakuasi, misalnya:
PendukungKeterangan
MejaMeja yang kuat dapat digunakan untuk berlindung jika difabel netra berada di ruangan.
TasUntuk melindungi kepala saat akan keluar ruangan. Menghindari dari tertimpa genting maupun benda lain.
HalamanHalaman yang luas dapat digunakan untuk evakuasi ketika bencana gempa terjadi.
TongkatDiperlukan untuk menganalisis keadaan. Jika tak memungkinkan, dapat traillingsaja dengan tangan.
Pemandu bagi difabel netraDiperlukan jika difabel netra belum memiliki kemampuan O&M yang memadai.
Alas kaki (sandal, sepatu)Untuk menghindari pecahan kaca atau benda-benda berbahaya lainnya.
Kelompok rentan perlu juga dianalisis. Kelompok rentan ini adalah siapa saja yang lebih rentan ketika bencana melanda, misanya manula, ibu hamil, maupun difabel itu sendiri.



[1]ASB.(2009). Aksesibilitas Fisik: Panduan untuk Mendesain Aksesibilitas Fisik bagi Semua Orang di Lingkungan Sekolah. Yogyakarta: ASB Indonesia. h. 26.

[1]Hasil penelitian Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di KabupatenBantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id.

TORCH HAND CAMPAIGN

Tunjukan kepedulianmu terhadap TORCH! Caranya mudah, tulis STOP TORCH di telapak tanganmu, foto, dan share di sosial media. kepedulian sekecil apapun akan sangat berarti bagi sesama.














school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...