Selasa, 20 September 2016

Guru (bukan) Plagiator



Plagiasi dapat diartikan sebagai penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang. Plagiasi merupakan pencurian karya yang sangat ditakuti semua akademisi. Sedikit saja terindikasi plagiasi, dapat fatal akibatnya. Sanksi pun beragam misalnya pencabutan gelar akademis, sanksi sosial bahkan pemecatan secara tidak hormat oleh institusi pendidikan.

Disadari atau tidak, tindak plagiasi pun sering dilakukan oleh para guru. Sebagai contohnya menyalin artikel maupun makalah di internet dalam pembuatan tugas tanpa menyertakan sumber, menyalin tulisan di buku juga tanpa sumber, bahkan tindakan yang paling keji, yaitu mengaku karya itu adalah tulisannya padahal hanya menjiplak secara gamblang. Atau kejadian yang paling sering ditemui di kalangan guru, yaitu meng-copy paste  RPP dari internet, atau laporan-laporan dari komputer sekolah.

Salah satu solusi alternatif usaha preventif tindak plagiasi di kalangan guru adalah melalui pendekatan yang lebih menyentuh sisi humanis. Sebuah tawaran solusi yang berupaya menyentuh sisi spiritual, yaitu menumbuhkan perasaan selalu diawasi Allah Swt, keutamaan berbuat jujur, balasan bagi orang yang curang dan keyakinan bahwa menulis (membuat RPP, tugas-tugas bagi guru yang melanjutkan studi) merupakan suatu ibadah. Dengan pendekatan yang menyentuh sisi spiritual ini akan menumbuhkan rasa percaya akan potensi diri dan kepuasan batin dalam membuat karya orisinil. 

Melalui pendekatan yang lebih spiritual diharapkan guru dapat menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kejujuran dalam membuat karya sehingga harapannya dapat menghindari tindak plagiasi. Melalui pendekatan spiritual ini diharapkan dapat membangun kesadaran guru terhadap pentingnya menjaga keorisinilan hasil karya tulis.

BA-PER DAN GANGGUAN KEPRIBADIAN



Dalam dunia psikologi, masa remaja sangat berpengaruh pada fase-fase berikutnya. Ketika anak beranjak memasuki masa remaja, proses kogntif meluas saat anak mengembangkan kapabilitas untuk berpikir abstrak dan kapasitas untuk memahami perspektif orang lain. Masa ini sangat penting karena anak akan mengontruksikan identitas yang akan memberikan basis kuat bagi masa dewasanya kelak. Bila remaja gagal mengintegrasikan semua aspek dan pilihan  dalam hal nilai-nilai, ideologi, peran, dan tujuan hidup, mereka tidak akan memilih menjadi apa yang mereka inginkan dan hanya mengembangkan kepribadian ilusi.

Bagi sebagian remaja yang gagal, akan terjadi penutupan identitas yang merupakan  masa-masa tanpa eksplorasi. Remaja yang identitasnya tertutup tidak bereskperimen dengan identitas-identitas yang berbeda, dan hanya sekadar mengomitmen diri tanpa tujuan. Kegagalan identitas ini akan berakibat masa dewasa akan mengalami kesepian jiwa, apati, dan menarik diri, dan mengabaikan kewajiban.
Orang dengan identitas gagal pada masa remaja akan mengalami gangguan perasaan yang sering disebut juga gangguan afektif. Kelompok gangguan ini mencakup depresi dan gangguan bipolar sehingga akan berubah-ubah dari ekstrem tinggi ke ekstrem rendah saat menerima situasi yang tidak mampu dikontrol, tidak mampu menerima kritik dan kegagalan dalam menerima berbagai perspektif.

Di masa kini, gangguan semacam ini sering dikaitkan dengan istilah baper. Orang yang mengidap baper, akan cenderung berpikir tidak rasional dan mudah berilusi pada sesuatu. Kecenderungan ini mencerminkan temperamen, yaitu gaya perilaku dan respon dari seseorang. Tentu saja ketika baper tidak berkelanjutan, itu mungkin hanya respon sesaat. Akan tetapi ketika respon irasional selalu menghinggapi cara menyelesaikan masalah yang dilakukan, hal tersebut termasuk dalam gangguan kepribadian.  Wallahu’alam.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...