Selasa, 01 Februari 2011

Layanan Berbasis Teknologi sebagai Sarana Mewujudkan Perpustakaan Ideal bagi Penyandang Tunanetra

Pendahuluan
Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Secara umun istilah tunanetra digunakan untuk menggambarkan kelainan penglihatan dari tingkatan ringan sampai berat atau buta. Dalam konteks pendidikan seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk mencapai prestasi belajar yang optimal diperlukan berbagai adaptasi atau penyesuaian komponen pendidikan. Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan tunanetra dalam mengakses informasi. Hal ini berarti bahwa kebutaan akan mengakibatkan keterbatasan dasar pada individu, seperti dalam jenjang variasi pengalaman, kemampuan memperoleh sesuatu atau melakukan perjalanan, dan mengontrol lingkungan dalam hubungannya dengan alam sekitar. Ketidakmampuan melihat secara awas ini mengakibatkan seorang tunanetra harus dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan mengoptimalkan indra yang lain. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50). Fungsi indra pemadu ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Secara umum ketunanetraan tidak secar otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Keadaan inteligensi tunanetra tidak berbeda dengan orang normal. tetapi ada pula kecerdasan yang diatas rata-rata dan dibawah rata-rata. Tilman dan Osborne (Sari Rudiyati, 2003:14) membandingkan antara anak tunanetra dan anak normal menunjukkan anak tunanetra akan mempertahankan pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintergasi dengan pengalaman lainnya sebagaimana anak normal. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan anak tunanetra masih kurang lengkap jikalau dibanding dengan anak normal. Namun sayangnya, salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang ada. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangatlah sedikit. Oleh sebab itu diperlukan layanan khusus bagi penyandang tunanetra agar dapat memperoleh informasi yang disediakan di perpustakaan. Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan berbasis teknologi. Layanan berbasis teknologi bagi tunanetra yang mempunyai kelainan diharapkan dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilakan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, dan telesensory. Dengan adanya layanan perpustakaan berbasis teknologi, seyogyanya dapat mempermudah dan atau memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam dria visual. Layanan perpustakaan berbasis teknologi dapat juga memotivasi penyandang tunanetra mencintai perpustakaan dan sebagai salah satu alternative mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Permasalahan Salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas. TujuanLayanan perpustakaan berbasis teknologi ini dfapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan dan memberikan memberikan alternatif dalam mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra Landasan TeoriSecara etimologis, tuna berarti rusak, kurang atau tiada memiliki. Netra berarti mata atau dria penglihatan. Jadi tunanetra berarti kodisi luka atau rusaknya mata/ dria penglihatan shingga mengakibatkan kurang atau tiada memuliki kemampuan persepsi penglihatan. Menurut Frans Harsana Sasraningrat (dalam Sari Rudiyati, 2002) definisi tunanetra ialah suatu kondisi dari dria penglihat yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi ini disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syaraf optik, dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual. Secara umum anak tunanetra mengalami kerusakan pada indra penglihatannya, sehingga mengalami gangguan dalam penglihatan. Klasifikasi penyandang tunanetra dalam Ortodidaktik Anak Tunanetra (Sari Rudiyati, 2003:9) menyebutkan sebagai berikut: (1) Buta Total, Anak tunanetra yang termasuk buta total apabila anak sudah tidak dapat lagi bereaksi terhadap rangsangang cahaya yang diterimanya walaupun telah menggunakan alat bantu. (2) Anak kurang lihat (low vision), adalah alat tunanetra yang memiliki sisa penglihatan tetapi dalam memanfaatkan sisa penglihatan tersebut, diperlukan alat bantu penglihatan. Dengan keadaan tunanetra yang cukup beragam, maka diperlukan berbagai macam teknologi yang dapat mempermudah kehidupan mereka. Istilah teknologi menurut Rifyanto Bakri (2007) menerangkan bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan dan menggampangkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani techne) manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah "teknologi", yang berarti ilmu yang mempelajari tentang "techne" manusia. (http://rbsamarinda.blogspot.com/2007/12/pengertian-teknologi.html) Pembahasan Tunanetra pada hakikatnya adalah suatu kondisi dari mata atau dria penglihatan yang karena sesuau hal tidak berfungsi sebagai mana mestinya, sehingga mengalamai keterbatasan dan atau ketidakmampuan melihat. Secara etimologi, tunanetra berasal dari dua kata, yaitu tuna yang berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki dan netra yang berarti mata atau dria penglihatan (Sari Rudiyati, 2003: 4). Secara teoritis, kelainan pada mata seperti kebutan terjadi bila ketajaman penglihatan lebih buruk dari 20/200, meskipun telah dibantu dengan kacamata maupun lensa kontak sekalipun. Kebutaan bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti cahaya tidak dapat mencapai retina, retina tidak dapat merasakan cahaya secara normal, kelainan penghantaran gelombang syaraf dari retina ke otak, maupun otak tidak dapat menerjemahkan informasi yang dikirim oleh mata (Oei Gin Djing, 2008:18). Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan dirinya (tunanetra) dalam mengakses informasi. Hal ini berarti bahwa kebutaan akan mengakibatkan keterbatasan dasar pada individu, seperti dalam jenjang variasi pengalaman, kemampuan memperoleh sesuatu atau melakukan perjalanan, dan mengontrol lingkungan dalam hubungannya dengan alam sekitar. Ketidakmampuan melihat secara awas ini mengakibatkan seorang tunanetra harus dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan mengoptimalakan indra yang lain. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50). Fungsi indra pemadu ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yanag lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuaensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya pengelolaan perpustakaan dan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan perpustakaan dan lingkungan belajar orang-orang nonberkebutuhan khusus. Namun demikian ada hal-hal khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan penyandang tunanetra. Oleh karena itu perpustakaan dan lingkungan belajar penyandang tunanetra perlu dikelola oleh pihak yang tetkait dengan strategi khusus antara lain, (1) Setiap ruang perpustakaan, tempat dimana penyandang tunanetra memperoleh infiormasi dan tempat duduk, meja, sampai rak-rak buku perlu diberi tanda yang dapat diraba oleh penyandang tunanetra. Tanda ini dapat berupa tulisan huruf Braille maupun tanda-tanda tertentu, misalnya relief-relief gambar, (2) Pengaturan ruangan hendaknya memperhatikan keleluasaan gerak pada penyandang tunanetra agar tidak mengganggu mobilitas mereka. Ruangan hendaknya tidak terlalu sempit dan jarak antara rak satu dengan rak lainnya dapat dilalui oleh dua orang atau lebih, (3) Layanan berbasis teknologi diperlukan bagi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi. Layanan perpustakaan bagi tunanetra yang mempunyai kelainan sedemikian rupa tentu saja memerlukan berbagai alat yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilakan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih. Adapun peralatan yang digunakan penyandang tunanetra untuk dapat membantu mengakses informasi di perpustakaan adalah: (1) Komputer dengan program JAWS. Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga mentranslate kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (saduran dari kamus Hasan Sadili). Pembrailannya pun menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC. Duxburi merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC (Mitra Netra Braille Conventer) berasal dari Indonesia. Persamaan dari keduanya adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memilki kelemahan yaitu file yang disimpan formatnya akan berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan metematika) tidak dapat dikonversikan langsung. (2) Printer Braille (Impact Printer). Printer ini memiliki cara kerja yang mirip dengan printer dot matrix. Proses pencetakan dilakukan dengan cara pengetukan pada kertas, sehingga printer ini lebih bersuara jika dibandingkan dengan printer tinta. Printer braille terdiri dari dua tipe, yaitu COMET dan BRAILLO NORWAY (tipe 200 dan 400). Perbedaan dari dua tipe ini terletak pada hasil cetakannya. Printer COMET hanya dapat mencetak dari dua sisi (satu muka), sedangkan BRAILLO NORWAY dapat mencetak dua sisi (bolak-balik). (3) Open Book scanner. Open book scanner memiliki cara kerja yang hampir sama dengan scanner biasa. Hanya saja open book scanner ini masih dapat membaca tulisan walaupun dengan kertas yang terbalik (atas bawah). Hal ini memudahkan tunanetra untuk meletakkan kertas discanner tanpa harus khawatir tulisan tidak dapat terbaca karena terbalik. Namun, Open Book Scaner ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat membaca tabel secara horizontal. (4) DAISY Player (Digital Ascesible System Player). DAISY Player digunakan untuk mempermudah penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk suara. Kecepatan dan volume suara dapat diatur sedemukian rupa sesuai kebutuhan. Buku bicara yang digunakan untuk DAISY player ini berupa compact disk. (5) Buku bicara (Digital Talking Book). Buku bicara pada dasarnya memilki cara kerja yang hampir sama dengan buku bicara dalam bentuk compact disk (CD). Hanya saja pengoperasian kaset bicara harus menggunakan radio tape. (6) Termoform merupakan mesin pengganda (copy) bacaan penyandang tunanetra dengan penggunakan kertas khusus, yaitu braillon. (7) Telesensory merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas agar terbaca oleh penderita tunanetra low vision. Berdasarkan gagasan tersebut, layanan berbasis teknologi seyogyanya dapat diterapkan di perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia untuk mempermudah dan atau memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Dengan adanya layanan ini diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan dan merasa hak-hak mereka terpenuhi. Manfaat yang dapat diperoleh datri penulisan artikel ini adalah memberikan alternatif untruk meningkatkan kazanah keilmuan terutama dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khsus untuk mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Kesimpulan dan Saran Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan tunanetra dalam mengakses informasi. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50) Tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Secara umum ketunanetraan tidak secar otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Namun sayangnya, salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang ada. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra.. Oleh sebab itu diperlukan layanan khusus bagi penyandang tunanetra agar dapat memperoleh informasi yang disediakan di perpustakaan. Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan berbasis teknologi., seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, dan telesensory. Dengan adanya layanan perpustakaan berbasis teknologi, diharapkan dapat memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi, memotivasi penyandang tunanetra mencintai perpustakaan dan alternative mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Pihak yang terkait seyogyanya juga lebih memperhatikan penyandang tunanetra dengan memberikan layanan perpustakaan berbasis teknologi agar supaya penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan. Daftar Pustaka Djing, Oei Gin. (2008). Terapi Mata dengan Pijat dan Ramuan. Jakarta: Penebar Plus. Purwanto. Heri. (1998). Diklat Ortopedagogik Umum. Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta. Rifyanto Bakri. (2007). Pengertian Teknologi. http://rbsamarinda.blogspot.com/2007/12/pengertian-teknologi.html. akses 29 September 2009. Rudiyati, sari. (2003). Ortodidaktik Anak Tunanetra (Buku Pegangan Kuliah). Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...