Dwitya Sobat Ady Dharma
Berbagai macam kebijakan terkait
penyandang cacat sangat penting disosialisasikan karena penyandang cacat netra
di Indonesia tak sedikit jumlahnya. Menurut data (2010), jumlah tunanetra mencapai
1,5% dari total penduduk Indonesia, atau sekitar 3.300.000 orang. Jumlah
tersebut belum termasuk tunanetra low
vision dan penyandang dengan penyakit mata degeneratif yang tak terdata.
Hilangnya kemampuan indra penglihatan
yang sangat penting ini akan meningkatkan risiko ketika berada di tempat padat
kendaraan. Hal ini dikarenakan penglihatan merupakan indra pemadu yang
kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Seorang tunanetra
terpaksa bergantung pada indra pendengaran dan perabaan untuk dapat mengakses
lingkungan. Hal ini pun diperparah dengan fasilitas penunjang keselamatan
tunanetra yang disalahgunakan, misalnya saja trotoar dengan konblok khusus yang
malah digunakan untuk berdagang, bahkan digunakan sebagai tempat parkir.
Keadaan ini semakin tak kunjung terselesaikan karena masyarakat pun kurang
paham dengan fasilitas-fasilitas penyandang cacat dan tanda-tanda khusus untuk
penyandang cacat.
Ketidakberdayaan ini disebabkan
ketidakpedulian masyarakat terhadap eksistensi penyandang tunanetra. Ada
beberapa fakta yang muncul yaitu masyarakat tidak mengetahui adanya fasilitas
khusus bagi penyandang tunanetra, masyarakat kurang peduli dengan eksistensi
penyandang tunanetra dan masyarakat kurang memprioritaskan penyandang tunanetra
apabila di tempat padat kendaraan.
Sesuai dengan “Decade of Action for Road Safety” yang dicetuskan oleh PBB,
Indonesia telah merumuskan “Pencanangan Aksi keselamatan Jalan Indonesia”
dengan pengesahan “Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas Angkutan
Jalan” yang menargetkan penurunan tingkat kecelakaan. Pada Resolusi PBB no.
64/255 butir 7 diamanatkan kepada setiap negara anggota PBB untuk menetapkan
targetnya masing-masing. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap negara harus
melindungi warga negaranya untuk selamat di jalan raya tak terkecuali bagi
warga penyandang tunanetra.
Perihal lalu lintas dan angkutan jalan
bagi difabel sebenarnya telah diatur dalam
UU Nomor 22 Tahun 2009. Menurut UU baru ini, peran instansi bidang pengelolaan
dan rekayasa teknik lalulintas telah ditetapkan. Berbagai macam pasal yang
terkait dengan hak dan kewajiban penyandang cacat dalam memakai fasilitas umum
di jalan raya antara lain fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan
angkutan jalan meliputi trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki,
halte, dan fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
Pemerintah Daerah dan Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan
perlakuan khusus di bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada penyandang
cacat, manusia usia lanjut, wanita hamil dan orang sakit. Perlakuan khusus ini
meliputi aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan.
Berdasarkan undang-undang tersebut, masyarakat secara kelompok dapat mengajukan
gugatan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan
khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.