Gempa
bisa datang kapan saja. Gempa pun seringkali memakan korban yang cukup banyak.
Dan parahnya, tunanetra
merupakan salah satu pihak yang rentan karena mereka sering terlupakan saat
penyelamatan. Banyaknya korban tunanetra sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaktahuan apa yang harus dilakukan
dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, sebelum gempa, saat dan sesudahnya.
Dengan adanya informasi yang tepat, kita sebetulnya dapat mengurangi risiko bencana
kepada difabel dengan cara memperluas akses penyelamatannya.
Langkah pemecahan strategis dapat dilakukan dengan menyentuh tiga dimensi,
yaitu secara individual, kultural, dan struktural. Secara individual, dapat
dilakukan dengan pemahaman akan keselamatan diri dengan pelatihan. Pelatihan
dikatakan kontekstual dengan tunanetra apabila sesuai dengan karakteristiknya.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam training O&M dilakukan dengan cara
mengaitkan konten training dengan situasi dunia nyata untuk membuat hubungan
antara pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. Proses memahamkan makna konten yang dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Training pun dapat dilakukan dengan cara
menerapkan strategi yang joyfull dan problem based instruction (training
berbasis masalah).
Training ini akan dibuat menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang dapat
membuat tunanetra berpikir logis dan mampu mengeluarkan ide-idenya dalam
menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tutor harus mampu mengembangkan
organisasi instruksional termasuk di dalamnya kemampuan menyelidiki sumber
belajar dan seleksi untuk penerapan instruksional, di samping penguasaan konten. Konten yang diajarkan
dapat berupa pendidikan
siaga bencana yang berisi
kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana,
sehingga tercipta
kesiapsiagaan dan tanggap darurat dalam menyelamatkan diri.
Dalam konteks kultural, eksistensi tunanetra yang
semakin tenggelam dalam program keselamatan tidak hanya dilihat semata-mata
dari keadaan tunanetra sendiri. Kondisi tunanetra yang semakin terpuruk ini
justru lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang
difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial yang terkait partisipasi dan penerimaan sosial menjadi
tidak terpenuhi. Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995: 16) menyebutkan
bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan
merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat.[1]
Padahal, difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat akan
mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi
kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial. Oleh karena itu, memperluas akses aktualisasi
prestasi penyandang tunanetra hal yang mutlak dilakukan. Akibatnya, tunanetra
semakin eksis dalam proses sosial kemasyarakatan.
Dalam dimensi struktural, masyarakat harus aktif
dalam advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada penyandang tunanetra.
Apalagi permasalahan kecacatan kini tak lagi dipandang dalam
dimensi kesehatan, namun lebih ditekankan pada dimensi sosial. Hal ini
diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Mensos Nomor 82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata
Kerja Departemen Sosial yang menyatakan
bahwa titik tekan penanganan
permasalahan disabilitas di Indonesia diselenggarakan oleh Kementerian Sosial
RI. Akibatnya, program-program yang bersifat pemberdayaan
tunanetra menjadi menarik untuk dikembangkan, seperti pemulihan ekonomi pasca
gempa, pembangunan sarana umum yang aksesibel bagi penyandang tunanetra, maupun
rapat kebijakan publik yang merangkul tunanetra untuk ikut berpartisipasi aktif
dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, keterlibatan penyandang tunanetra dalam
sektor pembangunan publik bukan hanya sebagai penerima pasif dari manfaat
pembangunan melainkan sebagai pelaku aktif dari pembangunan.
Rekomendasi ini menggambarkan wacana yang holistik sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara utuh dan mendasar.
Harapan dari semua ini adalah terciptanya situasi sosial yang tak lagi
memandang tunanetra dari ketidaberdayaannya. Oleh karena itu adalah keniscayaan
bagi kita untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam proses membangun
tatanan yang lebih baik karena hasil terbaik selalu dari hasil kerja kolektif.
[1] Sri
Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. h.16.