Selasa, 27 September 2016

PEMBERDAYAAN INDIVIDUAL, KULTURAL, DAN STRUKTURAL BAGI DIFABEL NETRA SAAT GEMPA



Gempa bisa datang kapan saja. Gempa pun seringkali memakan korban yang cukup banyak. Dan parahnya, tunanetra merupakan salah satu pihak yang rentan karena mereka sering terlupakan saat penyelamatan. Banyaknya korban tunanetra sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaktahuan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, sebelum gempa, saat dan sesudahnya. Dengan adanya informasi yang tepat, kita sebetulnya dapat mengurangi risiko bencana kepada difabel dengan cara memperluas akses penyelamatannya. 

Langkah pemecahan strategis dapat dilakukan dengan menyentuh tiga dimensi, yaitu secara individual, kultural, dan struktural. Secara individual, dapat dilakukan dengan pemahaman akan keselamatan diri dengan pelatihan. Pelatihan dikatakan kontekstual dengan tunanetra apabila sesuai dengan karakteristiknya. Penerapan pendekatan kontekstual dalam training O&M dilakukan dengan cara mengaitkan konten training dengan situasi dunia nyata untuk membuat hubungan antara pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. Proses memahamkan makna konten yang dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Training pun dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi yang joyfull dan problem based instruction (training berbasis masalah).

Training ini akan dibuat menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang dapat membuat tunanetra berpikir logis dan mampu mengeluarkan ide-idenya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tutor harus mampu mengembangkan organisasi instruksional termasuk di dalamnya kemampuan menyelidiki sumber belajar dan seleksi untuk penerapan instruksional, di samping penguasaan konten. Konten yang diajarkan dapat berupa pendidikan siaga bencana yang berisi kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana, sehingga tercipta kesiapsiagaan dan tanggap darurat dalam menyelamatkan diri.

Dalam konteks kultural, eksistensi tunanetra yang semakin tenggelam dalam program keselamatan tidak hanya dilihat semata-mata dari keadaan tunanetra sendiri. Kondisi tunanetra yang semakin terpuruk ini justru lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial yang terkait partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi. Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995: 16) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat.[1] Padahal, difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial. Oleh karena itu, memperluas akses aktualisasi prestasi penyandang tunanetra hal yang mutlak dilakukan. Akibatnya, tunanetra semakin eksis dalam proses sosial kemasyarakatan.

Dalam dimensi struktural, masyarakat harus aktif dalam advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada penyandang tunanetra. Apalagi permasalahan kecacatan kini tak lagi dipandang dalam dimensi kesehatan, namun lebih ditekankan pada dimensi sosial. Hal ini diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Mensos Nomor 82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial yang menyatakan bahwa titik tekan penanganan permasalahan disabilitas di Indonesia diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Akibatnya, program-program yang bersifat pemberdayaan tunanetra menjadi menarik untuk dikembangkan, seperti pemulihan ekonomi pasca gempa, pembangunan sarana umum yang aksesibel bagi penyandang tunanetra, maupun rapat kebijakan publik yang merangkul tunanetra untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, keterlibatan penyandang tunanetra dalam sektor pembangunan publik bukan hanya sebagai penerima pasif dari manfaat pembangunan melainkan sebagai pelaku aktif dari pembangunan.

Rekomendasi ini menggambarkan wacana yang holistik sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara utuh dan mendasar. Harapan dari semua ini adalah terciptanya situasi sosial yang tak lagi memandang tunanetra dari ketidaberdayaannya. Oleh karena itu adalah keniscayaan bagi kita untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam proses membangun tatanan yang lebih baik karena hasil terbaik selalu dari hasil kerja kolektif.


[1] Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. h.16.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...