Setelah kita mengetahui pengertian dari ATG, kita akan belajar terkait prinsip pembelajaran bagi ATG. Ada tiga prinsip pembelajaran kepada ATG, yaitu prinsip kasih sayang, prinsip keperagaan, dan prinsip habilitasi dan rehabilitasi.
1. Prinsip Kasih sayang
Dalam kegiatan pembelajaran, anak tunagrahita membutuhkan kasih sayang yang tulus dari guru. Guru hendaknya berbahasa yang lembut, sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik,
ramah, dan supel, sehingga tumbuhl kepercayaan dari siswa, yang pada akhirnya mereka memiliki semangat untuk melakukan kegiatan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.
ramah, dan supel, sehingga tumbuhl kepercayaan dari siswa, yang pada akhirnya mereka memiliki semangat untuk melakukan kegiatan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.
2. Prinsip Keperagaan
Modelling memberikan
contoh nyata bagi ATG sehingga membangkitkan motivasi yang harapannya anak akan
menyelesaikan tugas belajar secara alamiah (Rogers, 2016: 80). Kelemahan siswa tunagrahita antara lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita akan lebih mudah tertarik perhatiannya apabila dalam kegiatan pembelajaran menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.
3. Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikit demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal. Dalam kegiatan pembelajaran, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin, melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.
ATG seringkali tidak mampu berbaur secara sosial sehingga akan menghambat perkembangan kognitifnya. Kondisi ini memerlukan “alat-alat kultural” sebagai pembantu perkembangan kognitif untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih tinggi seperti penalaran dan penyelesaian masalah (Woolfolk, 2017: 91). Alat-alat kultural tersebut dapat berupa bahasa yang dapat dipahami ABK, baik melalui tulisan (simbol) maupun isyarat lain seperti gesture sederhana.
ATG seringkali tidak mampu berbaur secara sosial sehingga akan menghambat perkembangan kognitifnya. Kondisi ini memerlukan “alat-alat kultural” sebagai pembantu perkembangan kognitif untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih tinggi seperti penalaran dan penyelesaian masalah (Woolfolk, 2017: 91). Alat-alat kultural tersebut dapat berupa bahasa yang dapat dipahami ABK, baik melalui tulisan (simbol) maupun isyarat lain seperti gesture sederhana.