Minggu, 25 September 2016

ARWAH SIMBAH



--------Saya memang tidak menyukai kehilangan, namun hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah menata pikiran dan mengatakan pada diri untuk bersuka cita pada kehilangan. Apalagi simbah pergi dengan tersenyum. Ini artinya simbah pergi dengan bahagia.------- 


Rumah kami sebetulnya tidak terlalu besar, namun beberapa minggu ini terasa sangat lengang karena hanya dihuni oleh saya dan ibu. Semenjak simbah uti meninggal seratus hari lalu, nampaknya semua perabot di rumah ini juga ikut hening. Beberapa sudut di rumah ini seperti tak ada ruhnya. Apalagi untuk beberapa ruang dan perabot yang sering digunakan simbah, teronggok begitu saja. Sebetulnya saya ingin segera membereskan kamarnya, menyimpan selimut, menyimpan bantal dan guling kecil yang selalu digunakan simbah untuk tidur. Akan tetapi saya mengurungkan niat karena mitos itu. Katanya arwah simbah masih ada di sekitar rumah sampai beberapa saat. Saya kemudian berpikir dalam hati, “masak sih?”

Rumah kami dibangun pada tahun 60an dengan gaya Limasan Jawa yang pada awalnya memiliki empat soko guru di tengahnya. Namun karena tidak semua kayu menggunakan kayu jati, beberapa kayu sudah lapuk dan pada tahun 2000an akhirnya dipugar dengan tetap mempertahankan kayu jati sebagai kerangka rumah. Saya masih ingat, dulu rumah kami dihuni oleh enam orang (tujuh orang jika ayah sedang mudik ke Magelang), yang kemudian lambat laun pergi dan hanya tersisa dua orang saja sekarang.

Hampir 10 tahun lamanya, saya tinggal bertiga dengan simbah dan ibu. Hampir semua kegiatan di lakukan bertiga, apalagi ketika menjelang sore. Simbah dan ibu mendampingi saya mulai dari masa sekolah, kuliah, dan awal-awal saya mulai bekerja di Jogja. Pada awalnya, meninggalkan simbah di siang hari merupakan sesuatu yang tidak menjadi kekhawatiran karena fisik simbah yang memang prima. Sampai akhirnya saat simbah sendiri di rumah, simbah terjatuh saat akan memberi makan ayam.

Kejadian itu merupakan awal dari kesehatan simbah yang kemudian menjadi naik turun. Karena geraknya menjadi terbatas, simbah didera penyakit gula. Sempat simbah dilarikan ke ICU karena tak sadarkan diri di rumah, namun akhirnya sembuh. Beberapa kali sakit, namun semangat hidup simbah masih tinggi. Simbah pun masih setia menunggu saya pulang kerja sambil menonton televisi.

Akan tetapi ketetapan Tuhan memang tidak bisa ditawar lagi. Suatu hari, kami mendapati simbah tak sadarkan diri di kamar setelah malam-malam sebelumnya aktif dan sehat . Saya memang sedikit menyayangkan treatment yang sedikit terlambat, namun kini bukan saatnya lagi menyesal. Simbah koma tiga hari di rumah sakit, dan menghembuskan napas terakhir masih dalam kondisi koma.

Kejadian koma-nya simbah memang mendadak sehingga kami tak sempat mempersiapkan diri untuk kehilangan simbah secepat ini.  Setelah seratus hari, masih ada jiwa simbah di sudut-sudut rumah kami. Saya memang tidak menyukai kehilangan, namun hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah menata pikiran dan mengatakan pada diri untuk bersuka cita pada kehilangan. Apalagi simbah pergi dengan tersenyum. Ini artinya simbah pergi dengan bahagia. 

Akan selalu ada yang datang pada sesuatu yang pergi. Ini sebuah keniscayaan. Saya siap menyambut kepergian dan kedatangan.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...