--------Saya memang
tidak menyukai kehilangan, namun hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah
menata pikiran dan mengatakan pada diri untuk bersuka cita pada kehilangan.
Apalagi simbah pergi dengan tersenyum. Ini artinya simbah pergi dengan bahagia.-------
Rumah kami sebetulnya tidak terlalu besar, namun beberapa
minggu ini terasa sangat lengang karena hanya dihuni oleh saya dan ibu.
Semenjak simbah uti meninggal seratus hari lalu, nampaknya semua perabot di
rumah ini juga ikut hening. Beberapa sudut di rumah ini seperti tak ada ruhnya.
Apalagi untuk beberapa ruang dan perabot yang sering digunakan simbah,
teronggok begitu saja. Sebetulnya saya ingin segera membereskan kamarnya,
menyimpan selimut, menyimpan bantal dan guling kecil yang selalu digunakan
simbah untuk tidur. Akan tetapi saya mengurungkan niat karena mitos itu.
Katanya arwah simbah masih ada di sekitar rumah sampai beberapa saat. Saya
kemudian berpikir dalam hati, “masak sih?”
Rumah kami dibangun pada tahun 60an dengan gaya Limasan Jawa
yang pada awalnya memiliki empat soko guru di tengahnya. Namun karena tidak
semua kayu menggunakan kayu jati, beberapa kayu sudah lapuk dan pada tahun
2000an akhirnya dipugar dengan tetap mempertahankan kayu jati sebagai kerangka
rumah. Saya masih ingat, dulu rumah kami dihuni oleh enam orang (tujuh orang
jika ayah sedang mudik ke Magelang), yang kemudian lambat laun pergi dan hanya
tersisa dua orang saja sekarang.
Hampir 10 tahun lamanya, saya tinggal bertiga dengan simbah
dan ibu. Hampir semua kegiatan di lakukan bertiga, apalagi ketika menjelang
sore. Simbah dan ibu mendampingi saya mulai dari masa sekolah, kuliah, dan
awal-awal saya mulai bekerja di Jogja. Pada awalnya, meninggalkan simbah di
siang hari merupakan sesuatu yang tidak menjadi kekhawatiran karena fisik
simbah yang memang prima. Sampai akhirnya saat simbah sendiri di rumah, simbah
terjatuh saat akan memberi makan ayam.
Kejadian itu merupakan awal dari kesehatan simbah yang kemudian
menjadi naik turun. Karena geraknya menjadi terbatas, simbah didera penyakit
gula. Sempat simbah dilarikan ke ICU karena tak sadarkan diri di rumah, namun
akhirnya sembuh. Beberapa kali sakit, namun semangat hidup simbah masih tinggi.
Simbah pun masih setia menunggu saya pulang kerja sambil menonton televisi.
Akan tetapi ketetapan Tuhan memang tidak bisa ditawar lagi.
Suatu hari, kami mendapati simbah tak sadarkan diri di kamar setelah
malam-malam sebelumnya aktif dan sehat . Saya memang sedikit menyayangkan
treatment yang sedikit terlambat, namun kini bukan saatnya lagi menyesal.
Simbah koma tiga hari di rumah sakit, dan menghembuskan napas terakhir masih
dalam kondisi koma.
Kejadian koma-nya simbah memang mendadak sehingga kami tak
sempat mempersiapkan diri untuk kehilangan simbah secepat ini. Setelah seratus hari, masih ada jiwa simbah
di sudut-sudut rumah kami. Saya memang tidak menyukai kehilangan, namun hal
terbaik yang bisa saya lakukan adalah menata pikiran dan mengatakan pada diri
untuk bersuka cita pada kehilangan. Apalagi simbah pergi dengan tersenyum. Ini
artinya simbah pergi dengan bahagia.
Akan selalu ada yang datang pada sesuatu yang pergi. Ini
sebuah keniscayaan. Saya siap menyambut kepergian dan kedatangan.