Kamis, 29 September 2016

MEMPERLUAS AKSES KESELAMATAN BAGI DIFABEL NETRA kEWAJIBAN SIAPA ?



Dwitya Sobat Ady Dharma 
Difabel seringkali terlupakan saat gempa melanda. Padahal, jumlah penyandang tunanetra di tanah air lumayan besar. Hasil Susenas tahun 2009 menunjukan bahwa dari 2,13 juta penyandang disabilitas, 339.309 orang adalah penyandang tunanetra dengan komposisi 180.009 penyandang tuna netra laki-laki dan 159.300 penyandang tunanetra perempuan. Bila dianalisis lebih mendalam, data Susesnas tahun 2009 menunjukan bahwa persentase penyandang disabilitas usia 10 tahun ke  atas, termasuk tunanetra laki-laki dan perempuan yang belum kawin cukup besar masing-masing 49,12 dan 45,04 persen.[1]

Dalam naskah Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Cacat (Convention on The Rights of Person with Disabilities) tahun 2007 disebutkan, “....kecacatan adalah hasil dari interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang menghalangi peran serta mereka di dalam masyarakat....” sehingga istilah cacat terbentuk karena interaksi dan lantas terciptalah istilah-istilah untuk mendefinisikan orang-orang yang berbeda itu. Bahasa memang terus berkembang, begitu pula untuk difabel. Beberapa frasa yang tidak diskriminatif akan meningkatkan martabat dan menjauhkan dari pandangan negatif. Gunakan istilah “penyandang cacat” daripada “orang cacat”[2], atau penyandang tunanetra daripada orang buta. Menurut Amin Abdullah (2010) istilah ini sebelumnya lebih dikenal dengan disabel (disable; tidak mampu), tapi kemudian dikoreksi dan disempurnakan menjadi difabel (different ability).[3]
 
Pergeseran istilah ini sejalan dengan perkembangan pengakuan hak keadilan yang pada masa lalu dipandang dari kondisi kelainannya. Sekarang istilah ini lebih menekankan pada perbedaan kemampuan individu. Kirk (2008)[4] pun menambahkan, anak-anak hanya dianggap difabel apabila memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan.

Tanpa perlu mengedepankan angka statistik, realitas di masyarakat pun sangat minim memperlihatkan kepedulian kepada tunanetra. Misalnya masyarakat yang belum mau berbagi jalan di trotoar walau sudah ada jalur khusus bagi tunanetra. Bahkan dari tempat ibadah pun masih belum dapat memberikan kenyamanan, misalnya saja tempat wudhu dengan kolam bahkan tangga yang terlalu curam. Kondisi ini juga diperparah oleh ketidakberpihakan kebijakan-kebijakan publik yang diskriminasi dan terkesan menjauhi tunanetra. Persoalan ini bermuara pada lingkungan sekitar dan masyarakat, tinggal bagaimana saat ini kita semua membuat rencana cerdas dalam meningkatkan harkat martabat tunanetra. Tunanetra hari ini terjepit dalam ketidakberdayaan struktural yang berakibat pada akses keselamatan saat gempa jarang mereka dapatkan.


[2] Handicap International. (2007). Etiket Berinteraksi dengan Penyandang Cacat. h.13.
[3] Amin Abdullah. (2010). Perguruan Tinggi Agama (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka News Edisi VII No. 32/ Maret-April , h. 22.
[4] Jamila Muhammad. (2008). Special Education for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah. h. 37.

MEMPERLUAS AKSES KESELAMATAN BAGI DIFABEL NETRA kEWAJIBAN SIAPA ?



Dwitya Sobat Ady Dharma 
Difabel seringkali terlupakan saat gempa melanda. Padahal, jumlah penyandang tunanetra di tanah air lumayan besar. Hasil Susenas tahun 2009 menunjukan bahwa dari 2,13 juta penyandang disabilitas, 339.309 orang adalah penyandang tunanetra dengan komposisi 180.009 penyandang tuna netra laki-laki dan 159.300 penyandang tunanetra perempuan. Bila dianalisis lebih mendalam, data Susesnas tahun 2009 menunjukan bahwa persentase penyandang disabilitas usia 10 tahun ke  atas, termasuk tunanetra laki-laki dan perempuan yang belum kawin cukup besar masing-masing 49,12 dan 45,04 persen.[1]

Dalam naskah Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Cacat (Convention on The Rights of Person with Disabilities) tahun 2007 disebutkan, “....kecacatan adalah hasil dari interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang menghalangi peran serta mereka di dalam masyarakat....” sehingga istilah cacat terbentuk karena interaksi dan lantas terciptalah istilah-istilah untuk mendefinisikan orang-orang yang berbeda itu. Bahasa memang terus berkembang, begitu pula untuk difabel. Beberapa frasa yang tidak diskriminatif akan meningkatkan martabat dan menjauhkan dari pandangan negatif. Gunakan istilah “penyandang cacat” daripada “orang cacat”[2], atau penyandang tunanetra daripada orang buta. Menurut Amin Abdullah (2010) istilah ini sebelumnya lebih dikenal dengan disabel (disable; tidak mampu), tapi kemudian dikoreksi dan disempurnakan menjadi difabel (different ability).[3]
 
Pergeseran istilah ini sejalan dengan perkembangan pengakuan hak keadilan yang pada masa lalu dipandang dari kondisi kelainannya. Sekarang istilah ini lebih menekankan pada perbedaan kemampuan individu. Kirk (2008)[4] pun menambahkan, anak-anak hanya dianggap difabel apabila memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan.

Tanpa perlu mengedepankan angka statistik, realitas di masyarakat pun sangat minim memperlihatkan kepedulian kepada tunanetra. Misalnya masyarakat yang belum mau berbagi jalan di trotoar walau sudah ada jalur khusus bagi tunanetra. Bahkan dari tempat ibadah pun masih belum dapat memberikan kenyamanan, misalnya saja tempat wudhu dengan kolam bahkan tangga yang terlalu curam. Kondisi ini juga diperparah oleh ketidakberpihakan kebijakan-kebijakan publik yang diskriminasi dan terkesan menjauhi tunanetra. Persoalan ini bermuara pada lingkungan sekitar dan masyarakat, tinggal bagaimana saat ini kita semua membuat rencana cerdas dalam meningkatkan harkat martabat tunanetra. Tunanetra hari ini terjepit dalam ketidakberdayaan struktural yang berakibat pada akses keselamatan saat gempa jarang mereka dapatkan.


[2] Handicap International. (2007). Etiket Berinteraksi dengan Penyandang Cacat. h.13.
[3] Amin Abdullah. (2010). Perguruan Tinggi Agama (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka News Edisi VII No. 32/ Maret-April , h. 22.
[4] Jamila Muhammad. (2008). Special Education for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah. h. 37.

Improving Self Awarenes Ability in the Orientation and Mobility Learning through Contextual Approach to Student with Visual Impairment at Preparation Class of SLB Ma’arif Muntilan



Dwitya Sobat Ady Dharma

This study aims to improve the ability of Orientation and Mobility (O & M) skills primarily recognize self (self-awareness) for blind students prep classes SLB Ma'Arif Muntilan using contextual approach .


This study uses action research approach (PTK). Classroom action research model used is the model of Kemmis and McTaggart. There are four elements of action research are developed, namely planning, action, observation, and reflection. This study used a single subject because there is only one student in the class preparation. Settings used in this study is on the inside and outside of the classroom. This study was conducted in October 2010 until December 2010. In this study, researchers used three data collection techniques, the techniques of performance tests, interviews, and observations. Test the validity of this research is done by using the content validity (comparing the contents of the instrument with the material). Data collected on the learning process of each cycle were analyzed descriptively using percentages techniques to see trends in learning activities .


The results showed that: 1 ) the contextual approach is able to make learning more fun and flexible because it connects students with real-life context so as to make students become more active and enthusiastic. 2 ) based on data analysis, cycle 1 obtained percentage attainment ability O & M increased by 51.25 % or 36.67 % of the pre-test. In cycle 2 percentage obtained attainment ability O & M by 80 %, an increase of 113.34 % from the pre-test. 3 ) contextual learning is proven to increase the ability of O & M blind students prep classes SLB Ma'Arif Muntilan significantly.

Rabu, 28 September 2016

ANAK BERBAKAT DAN KEBERMANFATAAN SOSIAL



Oleh: Dwitya Sobat Ady Dharma

Hakikatnya anak berbakat merupakan anak yang dapat membuktikan kemampuan berprestasi tinggi dalam berbagai bidang tertentu seperti intelektual, maupun akademik spesifik. Anak berbakat memiliki beberapa karakteristik potensi yang apabila dikembangkan optimal akan memberikan kebermanfaatan bagi diri sendiri dan orang lain. Ironisnya, kemampuan luar biasa yang dimiliki belum tentu disertai perkembangan emosi yang tinggi. Anak berbakat seringkali menunjukkan harapan yang tinggi terhadap dirinya maupun orang lain dan tidak disertai dengan kesadaran diri. Maka tidak jarang membawa dirinya menjadi frustrasi apabila mengalami kegagalan. Apabila hal tersebut tidak diakomodasi, maka perilaku bermasalah akan muncul. 

Kemampuan kognitif yang tinggi dan persepsi masyarakat yang menganggap anak berbakat sebagai anak unggulan kadang menyebabkan ia cenderung perfeksionis. Hal ini menyebabkan munculnya karakteristik yang tampak dalam segi sosialnya, seperti sensitif, kemampuan sosial yang kurang, cepat tersinggung, merasa dikucilkan teman-temannya, dan kurang dapat bergaul dengan teman sebaya. Apalagi dengan bermunculan RSBI/SBI yang dirasa kurang cocok dengan sistem kultur indonesia, anak berbakat akan semakin terisolasi dari lingkungan sosial.

Padahal, kemampuan sosial merupakan hal yang sangat penting. Manusia pasti akan membutuhkan orang lain, baik untuk pekerjaan, bertahan hidup, dan untuk dirinya sendiri. Di dalam beberapa pekerjaanpun manusia dituntut untuk mampu bekerja dalam tim dan tidak bekerja secara individual. Untuk itu seorang anak berbakat harus dibekali kemampuan bekerjasama yang memadai.

Penerapan pendidikan bagi anak berbakat seharusnya dapat memfasilitasi mereka akan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan sosial sehingga diharapkan dapat berinteraksi dengan individu lain dan bermanfaat bagi lingkungan. Pendidikan yang seringkali terlalu eksklusif dan mengakibatkan mereka tidak mampu mengimplementasikan sepenuhnya pengetahuan yang didapat di sekolah harus diminimalisasi. Merujuk pada realitas di atas, maka pendidikan bagi anak berbakat seharusnya dapat berperan aktif dalam mengembangkan aspek sosialnya sehingga potensi yang ada dapat digunakan bagi kemaslahatan masyarakat.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...