Ketika saya berkata “saya”, yang saya maksud
adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dan unik dari yang lain (Ugo Betti)
Kenyataan yang miris. Tunarungu selalu diposisikan
sebagai sebuah realitas sosial yang menuntut akomodasi atas kebutuhan
khususnya. Namun hampir tidak ada referensi media yang membicarakan solusi akan
keterbatasannya ini. Ironisnya, banyak pegiat media yang belum memahami isu ini
sehingga masih ada sikap yang salah terhadap keberadaan tunarungu. Hal ini
bukan semata-mata dikarenakan kurang akomodatifnya pegiat media dalam memahami keberadaan
tunarungu, namun lebih pada dangkalnya pemahaman pegiat media.
Keberadaan media informasi bagi tunarungu
juga dirasa kurang dapat memfasilitasi mereka akan kebutuhan penerimaan
informasi yang inklusif. Mereka kurang dapat bersosialisasi dan berinteraksi
dengan individu lain yang bukan difabel. Hal ini dikarenakan hanya sedikit
pihak yang peduli pada keterbatasan tunarungu. Pegiat media seharusnya dapat
berperan aktif dalam memfasilitasi keterbatasan yang tunarungu alami.
Umumnya, tunarungu memiliki intelegensi
normal atau rata-rata. Akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, perkembangan intelegensi secara
fungsional terhambat. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan daya
abstraksi anak akan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas.
Karakteristik keterbatasan anak
tunarungu secara tidak langsung akan menghambat kepribadian. Ketidakmampuan
menerima pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi dan
keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan lingkungan terhadapnya menjadi hal
yang kemudian terhimpun dalam dirinya dan menjadikannya semakin terpuruk.
Ketidakberdayaan ini disebabkan
ketidakpedulian masyarakat terhadap eksistensi penyandang tunarungu. Ada
beberapa fakta yang muncul yaitu masyarakat tidak peduli pada keterbatasan
tunarungu. kaum difabel masih belum menjadi bagian penting dari penerima
informasi, dan belum adanya regulasi yang memfasilitasi mereka. Padahal, berbagai
macam kebijakan terkait penyandang cacat sangat penting disosialisasikan karena
penyandang tunarungu di Indonesia tak sedikit jumlahnya.
Apakah kaum difabel termajinalkan? Tentu
bukan menjadi rahasia lagi jika hanya beberapa stasiun televisi yang
memfasilitasi bahasa isyarat, itupun hanya dalam acara berita. Bagaimana dengan
informasi lain sepeti acara science teknologi,
keagamaan, maupun hiburan?
Maka untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan
adanya paradigma baru bagi masyarakat, pegiat media dan pemerintah. Tuntutan
yang bisa diperjuangkan antara lain diberikannya pelayanan yang mengarah pada
pengembangan dan perluasan aksesibilitas penyandang tunarungu dalam memperoleh
informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar