Sabtu, 24 September 2016

DUNIA SUNYI KAUM TULI





Ketika saya berkata “saya”, yang saya maksud adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dan unik dari yang lain (Ugo Betti)





Kenyataan yang miris. Tunarungu selalu diposisikan sebagai sebuah realitas sosial yang menuntut akomodasi atas kebutuhan khususnya. Namun hampir tidak ada referensi media yang membicarakan solusi akan keterbatasannya ini. Ironisnya, banyak pegiat media yang belum memahami isu ini sehingga masih ada sikap yang salah terhadap keberadaan tunarungu. Hal ini bukan semata-mata dikarenakan kurang akomodatifnya pegiat media dalam memahami keberadaan tunarungu, namun lebih pada dangkalnya pemahaman pegiat media.

Keberadaan media informasi bagi tunarungu juga dirasa kurang dapat memfasilitasi mereka akan kebutuhan penerimaan informasi yang inklusif. Mereka kurang dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan individu lain yang bukan difabel. Hal ini dikarenakan hanya sedikit pihak yang peduli pada keterbatasan tunarungu. Pegiat media seharusnya dapat berperan aktif dalam memfasilitasi keterbatasan yang tunarungu alami.  

Umumnya, tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata. Akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, perkembangan intelegensi secara fungsional terhambat. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan daya abstraksi anak akan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. 

Karakteristik keterbatasan anak tunarungu secara tidak langsung akan menghambat kepribadian. Ketidakmampuan menerima pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan lingkungan terhadapnya menjadi hal yang kemudian terhimpun dalam dirinya dan menjadikannya semakin terpuruk.

Ketidakberdayaan ini disebabkan ketidakpedulian masyarakat terhadap eksistensi penyandang tunarungu. Ada beberapa fakta yang muncul yaitu masyarakat tidak peduli pada keterbatasan tunarungu. kaum difabel masih belum menjadi bagian penting dari penerima informasi, dan belum adanya regulasi yang memfasilitasi mereka. Padahal, berbagai macam kebijakan terkait penyandang cacat sangat penting disosialisasikan karena penyandang tunarungu di Indonesia tak sedikit jumlahnya.

Apakah kaum difabel termajinalkan? Tentu bukan menjadi rahasia lagi jika hanya beberapa stasiun televisi yang memfasilitasi bahasa isyarat, itupun hanya dalam acara berita. Bagaimana dengan informasi lain sepeti acara science teknologi, keagamaan, maupun hiburan? 

Maka untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan adanya paradigma baru bagi masyarakat, pegiat media dan pemerintah. Tuntutan yang bisa diperjuangkan antara lain diberikannya pelayanan yang mengarah pada pengembangan dan perluasan aksesibilitas penyandang tunarungu dalam memperoleh informasi.

Tidak ada komentar:

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...