Judul : 450 gram, Perjuangan bayi-bayi prematur menghirup nafas kehidupan
Karya : Christine Gleason
Penerbit : B-first (PT Bentang Pustaka)
Tahun : 2009
Tebal : vi+398
Sebuah kebetulan, dulu ketika aku sedang memuaskan diri di sebuah toko buku, aku menemukan buku yang berjudul 450 gram. Sesaat setelah aku memegangnya, aku lantas meletakkan kembali dan lebih memilih membeli Sabili. Dan sekitar satu tahun setelahnya, aku menemukan buku itu di Islamic Book Fair dengan harga yang jauh-jauh di bawahnya-only Rp.15.000,- aku pun membelinya. Oportunis : )
Kata Sherwin Nuland-penulis How we die and the soul of medicine, itu termasuk buku yang luar biasa. Susan Wiggs (Fireside) pun mengatakan bahwa 450 gram merupakan memoar yang ditulis dengan emosi yang meluap-luap dan akan mengaduk-aduk perasaan kita.
Memang benar, buku yang berisi 16 kisah itu memang sangat touchy. Apalagi memang hampir semuanya menceritakan tentang seorang yang bertahan hidup. Ada beberapa kisah yang berujung pada kematian, tapi tidak semuanya berkisah tentang hal menakutkan itu. Ada kisah yang berakhir indah, seperti kisah Travis pada bab ke 9.
Tapi seperti buku terjemahan kebanyakan, kadang kala “rasa” yang ditulis penulis aslinya kurang dapat sampai-hal ini juga aku rasakan saat membaca buku (khususnya buku-buku fiksi, bukan non fiksi) lainnya. Apalagi kata “I” diterjemahkan dengan “saya”, bukan “aku”. Aku berpikir bahwa suatu karangan akan lebih dapet sedihnya jika menggunakan kata “aku”, bukan “saya”.
Berikut ini akan aku ketikkan penggalan bab yang sedikit membuat aku meradang sekaligus membiru.
Bab 5, tentang Patrick
.....bahwa dia adalah mahasiswa junior di sebuah kampus lokal, berusia 20 tahun dan lajang. Dia terus menyangkal dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengira kalau dia sedang hamil, dan mengingat betapa kecilnya si bayi dan betapa besarnya dia-seseorang bahkan menyebut dia “gembrot”, hal tersebut tidak terlalu mengagetkan. Saya juga membaca bahwa dia tidak yakin siapa ayah bayinya-dia punya beberapa pacar selama enam bulan terakhir.....
....Ketika saya menanyakan hal-hal yang sejauh ini telah dia ketahui tentang bayinya, dia menanggapi dengan berkata,”Begini, saya telah memutuskan untuk merelakannya diadopsi. Saya tidak mungkin mengasuh seorang bayi atau membesarkan seorang anak dalam kondisi saya saat ini.....Saya tidak ingin terlalu dekat dengan bayi itu, jadi saya benar-benar tidak ingin mengetahui segala sesuatu tentang dirinya dan saya juga tidak ingin melihatnya....” (page 87)
----- Walaupun begitu, buku ini merupakan salah satu buku yang bisa kita baca untuk mengetahui dunia kedokteran yang penuh dengan dinamika. Dan juga sekelumit potret tentang seks liberal di dunia barat....-----
Selasa, 15 Februari 2011
Jumat, 11 Februari 2011
Yang aku sukai dari novel “Sakura” Nova Ayu Maulita (Komentar Tigapuluh Menit)
Setelah selama empat hari tiga malam berjumpa dengan para penulis keren seperti kang Abik, teh Pipiet Senja, Afifrah Afra, Sinta Yudisia, Sakti wibowo, Joni Ariadinata dan lain sebagainya di villa Eden Kaliurang, tanpa sadar virus semangat yang mereka bawa tiba-tiba masuk dalam tubuhku. Ghirah nulis langsung tinggi... Apalagi aku sempet menjatuhkan koper milik teh Pipiet pas buka bagasi. Bug..bug..toeng. Aku langsung panik, takut kalo isinya barang pecah belah (Apa hubungannya dengan ghirah menulis ya? krik krik krik....)
Baiklah...ehm..keesokan harinya setelah check out dari villa mewah itu, aku langsung menuju islamic book fair di GOR UNY. Sampai di sebuah stand, ada dua novel yang langsung mengingatkanku pada up-grading kemarin: Existere-nya mbak Sinta dan Sakura-nya mbak Ayu. Pengennya sih beli dua-duanya, tapi berhubung aku sedang ‘SAKURA’—Saku ku rata, maka aku beli satu aja deh. Dan buku yang dibeli pun sama: SAKURA. Sebuah kebetulan yang aneh. @_@ v
Mbak Nova Ayu Maulita, pemenang 3 RBA 2002: profilnya pernah aku baca saat aku masih SMA kelas 1 di Annida. Lebih tepatnya Annida no.03/XIV/1-15 Nopember 2004 (lengkapkan?! Aku punya klipingnya lho...). di artikel itu, mbak Ayu-nya senyum nyengir, pake jilbab putih krem, pake jas warna biru, n kacamata. Pas up-grading kemarin tampaknya ada juga, tapi kok beda ya dengan fotonya di Annida... jangan-jangan...tidaaaaaak...! he : )
Maklum, pas aku masuk FLP, mbak Ayu-nya pergi ke Jepang. Wah, tlisiban.
Cukup ya basa-basinya, setelah membaca novelnya mbak Ayu yang orang HI UGM, ada beberapa hal yang aku sukai. Silahkan disimak, jreeng...
Aku paling suka saat saat baca paragraf-paragraf yang membandingkan Indonesia dengan Jepang. Misalnya aja di halaman 26-27, “....padahal di Korea dan China ada catatan buruk bahwa Jepang adalah penjajah yang hingga saat ini harus dimusuhi. Satu hal hal yang tak pernah terbaca dalam buku catatan sejarah Indonesia. Di buku-buku pelajaranku hanya kutahu Indonesia dijajah Jepang tiga setengah tahun. Dan itu disampaikan datar-datar saja, tak ada emosi, tak ada kemarahan, apalagi rasa dendam. Entah apa karena bangsaku yang terlalu ramah tamah dan pemaaf atau justru terlalu bodoh?” Tampaknya aku setuju dengan mbak Ayu. Bukan hanya Jepang, bahkan kebiasaan yang dibawa Barat ke Indonesia dulu saat awal-awal pendudukan Belanda juga menjadi sesuatu yang “haram” diikuti. Tapi kini, orang kalo kebarat-baratan kok malah bangga, macam permasalahan sosial yang dibahas di novel tentang kehidupan barat yang bebas. Naudzubillah....(oh ya, btw motor mbak Ayu bukan buatan Jepang kan?! Hehehe pis mbak....)
Di halaman 43, juga disentil tentang pendidikan Indonesia yang sudah kadaluwarsa, “....kuliah di Indonesia juga penuh imajinasi, ketiadaan sarana dan prasarana masih mengganjal. Atau mungkin sama dengan teman-teman sastra-bahasa asing apapun, yang setelah lulus sarjana masih juga belum bisa bicara fasih bahasa asing. Sebenarnya apa yang salah dengan pendidikan Indonesia?” Yang ini juga setuju mbak! Tampaknya emang kayak gitu. Banyak siswa yang mulai belajar Bahasa Inggris sejak SD, tapi sampai SMA nggak lancar-lancar (sopo yo sing kesindir?? Aku hehehe...)
Pada halaman 85 pun juga demikian, “Jepang punya banyak aturan. Naik kereta harus baris, naik eskalator harus dari sisi kiri karena sisi kanan sengaja diluangkan untuk mereka yang berlari terburu mengejar waktu, di dalam kereta harus matikan handphone, hampir semua ada aturannya. Sedang di Indonesia semua aturan bisa dilanggar.” Begitu membacanya langsung mesem-mesem. Iyo e..pas kapan itu aku antri ATM...ujug-ujug ono sing nyrobot, pas antri ngeprint di kopma UNY...ono sing nyrobot juga, masuk ke trans Jogja...uyel-uyelan, masuk perpus...rame buanget...wis jan...Indonesia...Indonesia...Jadi pengen ke Jepang. Namaku jadi Sinichi Subatsa..(CURCOL).
Halaman 110-115, secara gamblang mbak Ayu menjabarkan “dosa-dosa” orang Indonesia. Saat ketidakteraturan menjadi hal yang lumrah. Petugas stasiun yang acuh n cuek bebek, sukanya jalan pintas (mis nembak kalo mau buat SIM)...., suka santai-santai, males-malesan, ogah-ogahan... kalau dipikir-pikir mirip patrick spong bok..hehehe.
Yang paling aku suka lagi saat adegan-adegan di maskam. Wah, jadi terasa dekeeeet banget. Saat kejadian di parkiran, di deket tempat wudhu, di depan kolam, di serambi yang banyak tiangnya...
Tapi ada beberapa yang membuat kurang nyaman. Misalnya aja ketikan nama yang kadang salah (TAKAYAKMA HIRO atau TAKAYAMA HIRO?). Kadang Takayakma...kadang Takayama. Lantas tentang koteka itu juga aku kurang suka, mending cari contoh lain saja.
Di halaman 58 ada paragraf seperti ini, “Andres duduk lagi, lalu meraih cangkir coklatnya. Tangannya mengambil sehelai keju lalu mencelupkannya dalam cairan coklat hangat itu. Perlahan coklat meleleh menyatu dalam coklat yang manis menggigit.” Menurutku yang meleleh itu keju-nya, bukan coklat. Masak coklat meleleh dalam coklat? Bukannya yang dimasukin tadi keju? (mungkin ya Mbak, namanya juga nebak...he)
Tapi Pokmen, bagus deh novelnya....jadi pengen menyusul untuk menerbitkan buku. Ayo semua pada teriak....”AAMIIIN....!!!”
Baiklah...ehm..keesokan harinya setelah check out dari villa mewah itu, aku langsung menuju islamic book fair di GOR UNY. Sampai di sebuah stand, ada dua novel yang langsung mengingatkanku pada up-grading kemarin: Existere-nya mbak Sinta dan Sakura-nya mbak Ayu. Pengennya sih beli dua-duanya, tapi berhubung aku sedang ‘SAKURA’—Saku ku rata, maka aku beli satu aja deh. Dan buku yang dibeli pun sama: SAKURA. Sebuah kebetulan yang aneh. @_@ v
Mbak Nova Ayu Maulita, pemenang 3 RBA 2002: profilnya pernah aku baca saat aku masih SMA kelas 1 di Annida. Lebih tepatnya Annida no.03/XIV/1-15 Nopember 2004 (lengkapkan?! Aku punya klipingnya lho...). di artikel itu, mbak Ayu-nya senyum nyengir, pake jilbab putih krem, pake jas warna biru, n kacamata. Pas up-grading kemarin tampaknya ada juga, tapi kok beda ya dengan fotonya di Annida... jangan-jangan...tidaaaaaak...! he : )
Maklum, pas aku masuk FLP, mbak Ayu-nya pergi ke Jepang. Wah, tlisiban.
Cukup ya basa-basinya, setelah membaca novelnya mbak Ayu yang orang HI UGM, ada beberapa hal yang aku sukai. Silahkan disimak, jreeng...
Aku paling suka saat saat baca paragraf-paragraf yang membandingkan Indonesia dengan Jepang. Misalnya aja di halaman 26-27, “....padahal di Korea dan China ada catatan buruk bahwa Jepang adalah penjajah yang hingga saat ini harus dimusuhi. Satu hal hal yang tak pernah terbaca dalam buku catatan sejarah Indonesia. Di buku-buku pelajaranku hanya kutahu Indonesia dijajah Jepang tiga setengah tahun. Dan itu disampaikan datar-datar saja, tak ada emosi, tak ada kemarahan, apalagi rasa dendam. Entah apa karena bangsaku yang terlalu ramah tamah dan pemaaf atau justru terlalu bodoh?” Tampaknya aku setuju dengan mbak Ayu. Bukan hanya Jepang, bahkan kebiasaan yang dibawa Barat ke Indonesia dulu saat awal-awal pendudukan Belanda juga menjadi sesuatu yang “haram” diikuti. Tapi kini, orang kalo kebarat-baratan kok malah bangga, macam permasalahan sosial yang dibahas di novel tentang kehidupan barat yang bebas. Naudzubillah....(oh ya, btw motor mbak Ayu bukan buatan Jepang kan?! Hehehe pis mbak....)
Di halaman 43, juga disentil tentang pendidikan Indonesia yang sudah kadaluwarsa, “....kuliah di Indonesia juga penuh imajinasi, ketiadaan sarana dan prasarana masih mengganjal. Atau mungkin sama dengan teman-teman sastra-bahasa asing apapun, yang setelah lulus sarjana masih juga belum bisa bicara fasih bahasa asing. Sebenarnya apa yang salah dengan pendidikan Indonesia?” Yang ini juga setuju mbak! Tampaknya emang kayak gitu. Banyak siswa yang mulai belajar Bahasa Inggris sejak SD, tapi sampai SMA nggak lancar-lancar (sopo yo sing kesindir?? Aku hehehe...)
Pada halaman 85 pun juga demikian, “Jepang punya banyak aturan. Naik kereta harus baris, naik eskalator harus dari sisi kiri karena sisi kanan sengaja diluangkan untuk mereka yang berlari terburu mengejar waktu, di dalam kereta harus matikan handphone, hampir semua ada aturannya. Sedang di Indonesia semua aturan bisa dilanggar.” Begitu membacanya langsung mesem-mesem. Iyo e..pas kapan itu aku antri ATM...ujug-ujug ono sing nyrobot, pas antri ngeprint di kopma UNY...ono sing nyrobot juga, masuk ke trans Jogja...uyel-uyelan, masuk perpus...rame buanget...wis jan...Indonesia...Indonesia...Jadi pengen ke Jepang. Namaku jadi Sinichi Subatsa..(CURCOL).
Halaman 110-115, secara gamblang mbak Ayu menjabarkan “dosa-dosa” orang Indonesia. Saat ketidakteraturan menjadi hal yang lumrah. Petugas stasiun yang acuh n cuek bebek, sukanya jalan pintas (mis nembak kalo mau buat SIM)...., suka santai-santai, males-malesan, ogah-ogahan... kalau dipikir-pikir mirip patrick spong bok..hehehe.
Yang paling aku suka lagi saat adegan-adegan di maskam. Wah, jadi terasa dekeeeet banget. Saat kejadian di parkiran, di deket tempat wudhu, di depan kolam, di serambi yang banyak tiangnya...
Tapi ada beberapa yang membuat kurang nyaman. Misalnya aja ketikan nama yang kadang salah (TAKAYAKMA HIRO atau TAKAYAMA HIRO?). Kadang Takayakma...kadang Takayama. Lantas tentang koteka itu juga aku kurang suka, mending cari contoh lain saja.
Di halaman 58 ada paragraf seperti ini, “Andres duduk lagi, lalu meraih cangkir coklatnya. Tangannya mengambil sehelai keju lalu mencelupkannya dalam cairan coklat hangat itu. Perlahan coklat meleleh menyatu dalam coklat yang manis menggigit.” Menurutku yang meleleh itu keju-nya, bukan coklat. Masak coklat meleleh dalam coklat? Bukannya yang dimasukin tadi keju? (mungkin ya Mbak, namanya juga nebak...he)
Tapi Pokmen, bagus deh novelnya....jadi pengen menyusul untuk menerbitkan buku. Ayo semua pada teriak....”AAMIIIN....!!!”
Selasa, 01 Februari 2011
Layanan Berbasis Teknologi sebagai Sarana Mewujudkan Perpustakaan Ideal bagi Penyandang Tunanetra
Pendahuluan
Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Secara umun istilah tunanetra digunakan untuk menggambarkan kelainan penglihatan dari tingkatan ringan sampai berat atau buta. Dalam konteks pendidikan seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk mencapai prestasi belajar yang optimal diperlukan berbagai adaptasi atau penyesuaian komponen pendidikan. Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan tunanetra dalam mengakses informasi. Hal ini berarti bahwa kebutaan akan mengakibatkan keterbatasan dasar pada individu, seperti dalam jenjang variasi pengalaman, kemampuan memperoleh sesuatu atau melakukan perjalanan, dan mengontrol lingkungan dalam hubungannya dengan alam sekitar. Ketidakmampuan melihat secara awas ini mengakibatkan seorang tunanetra harus dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan mengoptimalkan indra yang lain. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50). Fungsi indra pemadu ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Secara umum ketunanetraan tidak secar otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Keadaan inteligensi tunanetra tidak berbeda dengan orang normal. tetapi ada pula kecerdasan yang diatas rata-rata dan dibawah rata-rata. Tilman dan Osborne (Sari Rudiyati, 2003:14) membandingkan antara anak tunanetra dan anak normal menunjukkan anak tunanetra akan mempertahankan pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintergasi dengan pengalaman lainnya sebagaimana anak normal. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan anak tunanetra masih kurang lengkap jikalau dibanding dengan anak normal. Namun sayangnya, salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang ada. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangatlah sedikit. Oleh sebab itu diperlukan layanan khusus bagi penyandang tunanetra agar dapat memperoleh informasi yang disediakan di perpustakaan. Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan berbasis teknologi. Layanan berbasis teknologi bagi tunanetra yang mempunyai kelainan diharapkan dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilakan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, dan telesensory. Dengan adanya layanan perpustakaan berbasis teknologi, seyogyanya dapat mempermudah dan atau memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam dria visual. Layanan perpustakaan berbasis teknologi dapat juga memotivasi penyandang tunanetra mencintai perpustakaan dan sebagai salah satu alternative mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Permasalahan Salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas. TujuanLayanan perpustakaan berbasis teknologi ini dfapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan dan memberikan memberikan alternatif dalam mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra Landasan TeoriSecara etimologis, tuna berarti rusak, kurang atau tiada memiliki. Netra berarti mata atau dria penglihatan. Jadi tunanetra berarti kodisi luka atau rusaknya mata/ dria penglihatan shingga mengakibatkan kurang atau tiada memuliki kemampuan persepsi penglihatan. Menurut Frans Harsana Sasraningrat (dalam Sari Rudiyati, 2002) definisi tunanetra ialah suatu kondisi dari dria penglihat yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi ini disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syaraf optik, dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual. Secara umum anak tunanetra mengalami kerusakan pada indra penglihatannya, sehingga mengalami gangguan dalam penglihatan. Klasifikasi penyandang tunanetra dalam Ortodidaktik Anak Tunanetra (Sari Rudiyati, 2003:9) menyebutkan sebagai berikut: (1) Buta Total, Anak tunanetra yang termasuk buta total apabila anak sudah tidak dapat lagi bereaksi terhadap rangsangang cahaya yang diterimanya walaupun telah menggunakan alat bantu. (2) Anak kurang lihat (low vision), adalah alat tunanetra yang memiliki sisa penglihatan tetapi dalam memanfaatkan sisa penglihatan tersebut, diperlukan alat bantu penglihatan. Dengan keadaan tunanetra yang cukup beragam, maka diperlukan berbagai macam teknologi yang dapat mempermudah kehidupan mereka. Istilah teknologi menurut Rifyanto Bakri (2007) menerangkan bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan dan menggampangkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani techne) manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah "teknologi", yang berarti ilmu yang mempelajari tentang "techne" manusia. (http://rbsamarinda.blogspot.com/2007/12/pengertian-teknologi.html) Pembahasan Tunanetra pada hakikatnya adalah suatu kondisi dari mata atau dria penglihatan yang karena sesuau hal tidak berfungsi sebagai mana mestinya, sehingga mengalamai keterbatasan dan atau ketidakmampuan melihat. Secara etimologi, tunanetra berasal dari dua kata, yaitu tuna yang berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki dan netra yang berarti mata atau dria penglihatan (Sari Rudiyati, 2003: 4). Secara teoritis, kelainan pada mata seperti kebutan terjadi bila ketajaman penglihatan lebih buruk dari 20/200, meskipun telah dibantu dengan kacamata maupun lensa kontak sekalipun. Kebutaan bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti cahaya tidak dapat mencapai retina, retina tidak dapat merasakan cahaya secara normal, kelainan penghantaran gelombang syaraf dari retina ke otak, maupun otak tidak dapat menerjemahkan informasi yang dikirim oleh mata (Oei Gin Djing, 2008:18). Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan dirinya (tunanetra) dalam mengakses informasi. Hal ini berarti bahwa kebutaan akan mengakibatkan keterbatasan dasar pada individu, seperti dalam jenjang variasi pengalaman, kemampuan memperoleh sesuatu atau melakukan perjalanan, dan mengontrol lingkungan dalam hubungannya dengan alam sekitar. Ketidakmampuan melihat secara awas ini mengakibatkan seorang tunanetra harus dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan mengoptimalakan indra yang lain. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50). Fungsi indra pemadu ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yanag lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuaensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya pengelolaan perpustakaan dan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan perpustakaan dan lingkungan belajar orang-orang nonberkebutuhan khusus. Namun demikian ada hal-hal khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan penyandang tunanetra. Oleh karena itu perpustakaan dan lingkungan belajar penyandang tunanetra perlu dikelola oleh pihak yang tetkait dengan strategi khusus antara lain, (1) Setiap ruang perpustakaan, tempat dimana penyandang tunanetra memperoleh infiormasi dan tempat duduk, meja, sampai rak-rak buku perlu diberi tanda yang dapat diraba oleh penyandang tunanetra. Tanda ini dapat berupa tulisan huruf Braille maupun tanda-tanda tertentu, misalnya relief-relief gambar, (2) Pengaturan ruangan hendaknya memperhatikan keleluasaan gerak pada penyandang tunanetra agar tidak mengganggu mobilitas mereka. Ruangan hendaknya tidak terlalu sempit dan jarak antara rak satu dengan rak lainnya dapat dilalui oleh dua orang atau lebih, (3) Layanan berbasis teknologi diperlukan bagi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi. Layanan perpustakaan bagi tunanetra yang mempunyai kelainan sedemikian rupa tentu saja memerlukan berbagai alat yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilakan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih. Adapun peralatan yang digunakan penyandang tunanetra untuk dapat membantu mengakses informasi di perpustakaan adalah: (1) Komputer dengan program JAWS. Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga mentranslate kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (saduran dari kamus Hasan Sadili). Pembrailannya pun menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC. Duxburi merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC (Mitra Netra Braille Conventer) berasal dari Indonesia. Persamaan dari keduanya adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memilki kelemahan yaitu file yang disimpan formatnya akan berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan metematika) tidak dapat dikonversikan langsung. (2) Printer Braille (Impact Printer). Printer ini memiliki cara kerja yang mirip dengan printer dot matrix. Proses pencetakan dilakukan dengan cara pengetukan pada kertas, sehingga printer ini lebih bersuara jika dibandingkan dengan printer tinta. Printer braille terdiri dari dua tipe, yaitu COMET dan BRAILLO NORWAY (tipe 200 dan 400). Perbedaan dari dua tipe ini terletak pada hasil cetakannya. Printer COMET hanya dapat mencetak dari dua sisi (satu muka), sedangkan BRAILLO NORWAY dapat mencetak dua sisi (bolak-balik). (3) Open Book scanner. Open book scanner memiliki cara kerja yang hampir sama dengan scanner biasa. Hanya saja open book scanner ini masih dapat membaca tulisan walaupun dengan kertas yang terbalik (atas bawah). Hal ini memudahkan tunanetra untuk meletakkan kertas discanner tanpa harus khawatir tulisan tidak dapat terbaca karena terbalik. Namun, Open Book Scaner ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat membaca tabel secara horizontal. (4) DAISY Player (Digital Ascesible System Player). DAISY Player digunakan untuk mempermudah penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk suara. Kecepatan dan volume suara dapat diatur sedemukian rupa sesuai kebutuhan. Buku bicara yang digunakan untuk DAISY player ini berupa compact disk. (5) Buku bicara (Digital Talking Book). Buku bicara pada dasarnya memilki cara kerja yang hampir sama dengan buku bicara dalam bentuk compact disk (CD). Hanya saja pengoperasian kaset bicara harus menggunakan radio tape. (6) Termoform merupakan mesin pengganda (copy) bacaan penyandang tunanetra dengan penggunakan kertas khusus, yaitu braillon. (7) Telesensory merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas agar terbaca oleh penderita tunanetra low vision. Berdasarkan gagasan tersebut, layanan berbasis teknologi seyogyanya dapat diterapkan di perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia untuk mempermudah dan atau memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Dengan adanya layanan ini diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan dan merasa hak-hak mereka terpenuhi. Manfaat yang dapat diperoleh datri penulisan artikel ini adalah memberikan alternatif untruk meningkatkan kazanah keilmuan terutama dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khsus untuk mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Kesimpulan dan Saran Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan tunanetra dalam mengakses informasi. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50) Tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Secara umum ketunanetraan tidak secar otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Namun sayangnya, salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang ada. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra.. Oleh sebab itu diperlukan layanan khusus bagi penyandang tunanetra agar dapat memperoleh informasi yang disediakan di perpustakaan. Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan berbasis teknologi., seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, dan telesensory. Dengan adanya layanan perpustakaan berbasis teknologi, diharapkan dapat memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi, memotivasi penyandang tunanetra mencintai perpustakaan dan alternative mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Pihak yang terkait seyogyanya juga lebih memperhatikan penyandang tunanetra dengan memberikan layanan perpustakaan berbasis teknologi agar supaya penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan. Daftar Pustaka Djing, Oei Gin. (2008). Terapi Mata dengan Pijat dan Ramuan. Jakarta: Penebar Plus. Purwanto. Heri. (1998). Diklat Ortopedagogik Umum. Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta. Rifyanto Bakri. (2007). Pengertian Teknologi. http://rbsamarinda.blogspot.com/2007/12/pengertian-teknologi.html. akses 29 September 2009. Rudiyati, sari. (2003). Ortodidaktik Anak Tunanetra (Buku Pegangan Kuliah). Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta.
Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Secara umun istilah tunanetra digunakan untuk menggambarkan kelainan penglihatan dari tingkatan ringan sampai berat atau buta. Dalam konteks pendidikan seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk mencapai prestasi belajar yang optimal diperlukan berbagai adaptasi atau penyesuaian komponen pendidikan. Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan tunanetra dalam mengakses informasi. Hal ini berarti bahwa kebutaan akan mengakibatkan keterbatasan dasar pada individu, seperti dalam jenjang variasi pengalaman, kemampuan memperoleh sesuatu atau melakukan perjalanan, dan mengontrol lingkungan dalam hubungannya dengan alam sekitar. Ketidakmampuan melihat secara awas ini mengakibatkan seorang tunanetra harus dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan mengoptimalkan indra yang lain. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50). Fungsi indra pemadu ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Secara umum ketunanetraan tidak secar otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Keadaan inteligensi tunanetra tidak berbeda dengan orang normal. tetapi ada pula kecerdasan yang diatas rata-rata dan dibawah rata-rata. Tilman dan Osborne (Sari Rudiyati, 2003:14) membandingkan antara anak tunanetra dan anak normal menunjukkan anak tunanetra akan mempertahankan pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintergasi dengan pengalaman lainnya sebagaimana anak normal. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan anak tunanetra masih kurang lengkap jikalau dibanding dengan anak normal. Namun sayangnya, salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang ada. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangatlah sedikit. Oleh sebab itu diperlukan layanan khusus bagi penyandang tunanetra agar dapat memperoleh informasi yang disediakan di perpustakaan. Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan berbasis teknologi. Layanan berbasis teknologi bagi tunanetra yang mempunyai kelainan diharapkan dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilakan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, dan telesensory. Dengan adanya layanan perpustakaan berbasis teknologi, seyogyanya dapat mempermudah dan atau memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam dria visual. Layanan perpustakaan berbasis teknologi dapat juga memotivasi penyandang tunanetra mencintai perpustakaan dan sebagai salah satu alternative mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Permasalahan Salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas. TujuanLayanan perpustakaan berbasis teknologi ini dfapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan dan memberikan memberikan alternatif dalam mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra Landasan TeoriSecara etimologis, tuna berarti rusak, kurang atau tiada memiliki. Netra berarti mata atau dria penglihatan. Jadi tunanetra berarti kodisi luka atau rusaknya mata/ dria penglihatan shingga mengakibatkan kurang atau tiada memuliki kemampuan persepsi penglihatan. Menurut Frans Harsana Sasraningrat (dalam Sari Rudiyati, 2002) definisi tunanetra ialah suatu kondisi dari dria penglihat yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi ini disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syaraf optik, dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual. Secara umum anak tunanetra mengalami kerusakan pada indra penglihatannya, sehingga mengalami gangguan dalam penglihatan. Klasifikasi penyandang tunanetra dalam Ortodidaktik Anak Tunanetra (Sari Rudiyati, 2003:9) menyebutkan sebagai berikut: (1) Buta Total, Anak tunanetra yang termasuk buta total apabila anak sudah tidak dapat lagi bereaksi terhadap rangsangang cahaya yang diterimanya walaupun telah menggunakan alat bantu. (2) Anak kurang lihat (low vision), adalah alat tunanetra yang memiliki sisa penglihatan tetapi dalam memanfaatkan sisa penglihatan tersebut, diperlukan alat bantu penglihatan. Dengan keadaan tunanetra yang cukup beragam, maka diperlukan berbagai macam teknologi yang dapat mempermudah kehidupan mereka. Istilah teknologi menurut Rifyanto Bakri (2007) menerangkan bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan dan menggampangkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani techne) manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah "teknologi", yang berarti ilmu yang mempelajari tentang "techne" manusia. (http://rbsamarinda.blogspot.com/2007/12/pengertian-teknologi.html) Pembahasan Tunanetra pada hakikatnya adalah suatu kondisi dari mata atau dria penglihatan yang karena sesuau hal tidak berfungsi sebagai mana mestinya, sehingga mengalamai keterbatasan dan atau ketidakmampuan melihat. Secara etimologi, tunanetra berasal dari dua kata, yaitu tuna yang berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki dan netra yang berarti mata atau dria penglihatan (Sari Rudiyati, 2003: 4). Secara teoritis, kelainan pada mata seperti kebutan terjadi bila ketajaman penglihatan lebih buruk dari 20/200, meskipun telah dibantu dengan kacamata maupun lensa kontak sekalipun. Kebutaan bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti cahaya tidak dapat mencapai retina, retina tidak dapat merasakan cahaya secara normal, kelainan penghantaran gelombang syaraf dari retina ke otak, maupun otak tidak dapat menerjemahkan informasi yang dikirim oleh mata (Oei Gin Djing, 2008:18). Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan dirinya (tunanetra) dalam mengakses informasi. Hal ini berarti bahwa kebutaan akan mengakibatkan keterbatasan dasar pada individu, seperti dalam jenjang variasi pengalaman, kemampuan memperoleh sesuatu atau melakukan perjalanan, dan mengontrol lingkungan dalam hubungannya dengan alam sekitar. Ketidakmampuan melihat secara awas ini mengakibatkan seorang tunanetra harus dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan mengoptimalakan indra yang lain. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50). Fungsi indra pemadu ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yanag lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuaensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya pengelolaan perpustakaan dan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan perpustakaan dan lingkungan belajar orang-orang nonberkebutuhan khusus. Namun demikian ada hal-hal khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan penyandang tunanetra. Oleh karena itu perpustakaan dan lingkungan belajar penyandang tunanetra perlu dikelola oleh pihak yang tetkait dengan strategi khusus antara lain, (1) Setiap ruang perpustakaan, tempat dimana penyandang tunanetra memperoleh infiormasi dan tempat duduk, meja, sampai rak-rak buku perlu diberi tanda yang dapat diraba oleh penyandang tunanetra. Tanda ini dapat berupa tulisan huruf Braille maupun tanda-tanda tertentu, misalnya relief-relief gambar, (2) Pengaturan ruangan hendaknya memperhatikan keleluasaan gerak pada penyandang tunanetra agar tidak mengganggu mobilitas mereka. Ruangan hendaknya tidak terlalu sempit dan jarak antara rak satu dengan rak lainnya dapat dilalui oleh dua orang atau lebih, (3) Layanan berbasis teknologi diperlukan bagi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi. Layanan perpustakaan bagi tunanetra yang mempunyai kelainan sedemikian rupa tentu saja memerlukan berbagai alat yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilakan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih. Adapun peralatan yang digunakan penyandang tunanetra untuk dapat membantu mengakses informasi di perpustakaan adalah: (1) Komputer dengan program JAWS. Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga mentranslate kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (saduran dari kamus Hasan Sadili). Pembrailannya pun menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC. Duxburi merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC (Mitra Netra Braille Conventer) berasal dari Indonesia. Persamaan dari keduanya adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memilki kelemahan yaitu file yang disimpan formatnya akan berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan metematika) tidak dapat dikonversikan langsung. (2) Printer Braille (Impact Printer). Printer ini memiliki cara kerja yang mirip dengan printer dot matrix. Proses pencetakan dilakukan dengan cara pengetukan pada kertas, sehingga printer ini lebih bersuara jika dibandingkan dengan printer tinta. Printer braille terdiri dari dua tipe, yaitu COMET dan BRAILLO NORWAY (tipe 200 dan 400). Perbedaan dari dua tipe ini terletak pada hasil cetakannya. Printer COMET hanya dapat mencetak dari dua sisi (satu muka), sedangkan BRAILLO NORWAY dapat mencetak dua sisi (bolak-balik). (3) Open Book scanner. Open book scanner memiliki cara kerja yang hampir sama dengan scanner biasa. Hanya saja open book scanner ini masih dapat membaca tulisan walaupun dengan kertas yang terbalik (atas bawah). Hal ini memudahkan tunanetra untuk meletakkan kertas discanner tanpa harus khawatir tulisan tidak dapat terbaca karena terbalik. Namun, Open Book Scaner ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat membaca tabel secara horizontal. (4) DAISY Player (Digital Ascesible System Player). DAISY Player digunakan untuk mempermudah penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk suara. Kecepatan dan volume suara dapat diatur sedemukian rupa sesuai kebutuhan. Buku bicara yang digunakan untuk DAISY player ini berupa compact disk. (5) Buku bicara (Digital Talking Book). Buku bicara pada dasarnya memilki cara kerja yang hampir sama dengan buku bicara dalam bentuk compact disk (CD). Hanya saja pengoperasian kaset bicara harus menggunakan radio tape. (6) Termoform merupakan mesin pengganda (copy) bacaan penyandang tunanetra dengan penggunakan kertas khusus, yaitu braillon. (7) Telesensory merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas agar terbaca oleh penderita tunanetra low vision. Berdasarkan gagasan tersebut, layanan berbasis teknologi seyogyanya dapat diterapkan di perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia untuk mempermudah dan atau memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Dengan adanya layanan ini diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan dan merasa hak-hak mereka terpenuhi. Manfaat yang dapat diperoleh datri penulisan artikel ini adalah memberikan alternatif untruk meningkatkan kazanah keilmuan terutama dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khsus untuk mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Kesimpulan dan Saran Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Ketunanetraan ini berimplikasi langsung pada kemampuan tunanetra dalam mengakses informasi. Hilangnya indra penglihatan akan membawa berbagai dampak baik secara mekanis maupun psikologis. Indra penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu (Heri Purwanto, 1998:50) Tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan perpustakaan agar assesibel bagi penyandang tunanetra. Secara umum ketunanetraan tidak secar otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Namun sayangnya, salah satu sumber belajar masyarakat yang ada (perpustakaan) tidak begitu memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang ada. Perpustakaan yang ada sekarang hanya menyediakan buku-buku awas dan tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra.. Oleh sebab itu diperlukan layanan khusus bagi penyandang tunanetra agar dapat memperoleh informasi yang disediakan di perpustakaan. Salah satu layanan yang diharapkan ada adalah layanan berbasis teknologi., seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, dan telesensory. Dengan adanya layanan perpustakaan berbasis teknologi, diharapkan dapat memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi, memotivasi penyandang tunanetra mencintai perpustakaan dan alternative mewujudkan perpustakaan ideal bagi penyandang tunanetra. Pihak yang terkait seyogyanya juga lebih memperhatikan penyandang tunanetra dengan memberikan layanan perpustakaan berbasis teknologi agar supaya penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai perpustakaan. Daftar Pustaka Djing, Oei Gin. (2008). Terapi Mata dengan Pijat dan Ramuan. Jakarta: Penebar Plus. Purwanto. Heri. (1998). Diklat Ortopedagogik Umum. Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta. Rifyanto Bakri. (2007). Pengertian Teknologi. http://rbsamarinda.blogspot.com/2007/12/pengertian-teknologi.html. akses 29 September 2009. Rudiyati, sari. (2003). Ortodidaktik Anak Tunanetra (Buku Pegangan Kuliah). Yogyakarta: FIP Universitas Negeri Yogyakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)
school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana
Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...
-
Pendahuluan Tunanetra merupakan salah satu jenis kelainan pada indra (sensory), yaitu kelainan pada indra penglihatan (mata),. Secara umun...
-
FILM EAGLE DOC SERIES: berteman dengan perbedaan merupakan film dokumenter pembelajaran di sekolah inklusi. Basic story dari film pendek...