Sabtu, 08 Oktober 2016

KURIKULUM KHUSUS UNTUK TUNANETRA (BAGIAN 1)



Dwitya Sobat Ady Dharma
Kurikulum khusus merupakan kurikulum yang dirancang khusus untuk difabel. Kurikulum ini diberikan agar tunanetra dapat mengembangkan potensinya. Misalnya life skill yang meliputi kecakapan personal (kecakapan mengenal diri; self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skills). Kurikulum khusus bagi tunanetra berupa training Orientasi dan Mobilitas (O&M).[1] Sebagaimana struktur kurikulum yang telah dikembangkan, substansi muatan program khusus bagi tunanetra bertujuan untuk memandirikannya agar dapat beraktivitas dengan meminimalisasi bantuan orang lain, salah satunya untuk memperluas akses keselamatan ketika gempa melanda.

Lowenfeld (1981)[2] menjelaskan jika,
“Orientation and Mobility (O&M) is the ability of children to move about his environment and interact with it has important educational and social effect. Educationally, it allow him to develop realistic conceps about his environment and thus enables him to participate more fully in learning experiences with seeing children. Socially, it helps to dispel the notion that visually impairment persons are helpless and dependent, and fosters the notion they can become fully participating and contributing members of society.”

Berdasarkan pernyataan Lowenfeld, O&M merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dan berinteraksi dalam lingkungan, yang mempunyai manfaat strategis dalam segi edukasi dan sosialnya. Dalam segi edukasi, akan mengembangkan konsep yang nyata tentang lingkungan dan memungkinkannya untuk lebih berpartisipasi dalam proses belajar. Dalam segi sosial, kemampuan O&M membantunya untuk menyingkirkan pendapat bahwa tunanetra adalah seseorang yang tak berdaya dan selalu bergantung. Harapannya, mereka dapat berpartisipasi penuh dan berkontribusi sebagai anggota masyarakat.

Tujuan training O&M terkait dengan pandangan bahwa  pembelajaran konsep dasar O&M pada tunanetra sedini mungkin akan membuatnya lebih paham akan dirinya dan lingkungan (dalam tujuannya untuk menyelamatkan diri). Heward dan Orlansky (1988)[3] pun mengatakan bahwaIt is extremely important that, from an early age, visually impaired children be taught basic concepts that will familiarize them with their own bodies and their surroundings.” Memang, tahun-tahun pertama pada anak merupakan kesempatan yang tepat untuk melatih dan mengembangkan kemampuan mengenali dirinya sendiri dan lingkungan, sehingga diharapkan dapat meminimalisasi ketergantungan tunanetra kepada orang lain.   

Horton (1986) juga mengatakan,
“With training O&M, however, these people can learn to move safely around their villages. This allows them more freedom and makes them less dependent on family and friends. Children can learn to walk to school and adults can learn to walk to work or to the garden. When blind people can travel safely in familiar surroundings, they can become more active in family and community activities.”[4]

Dari pendapat tersebut dapat dilihat urgensi dari training O&M. Kemampuan O&M akan membuatnya lebih bebas dan tidak tergantung dari kerabat dan temannya. Oleh karena itu tujuan akhir dalam training O&M adalah membuatnya mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun tidak dikenal dengan aman dan efisien. O&M mengajarkan tunanetra untuk dapat bergerak dan menyelamatkan diri ketika orang-orang melupakannya. Adapun tujuan meningkatkan kemampuan O&M adalah agar tunanetra dapat bergerak dengan selamat, bergerak dengan mandiri, dan dapat bergerak secara efektif serta efisien.


[1]Buku Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Program Khusus Orientasi dan Mobilitas. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2007). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Orientasi dan Mobilitas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
[2]Blackhust, A. E. and Berdine, W. H. (1981). An Introduction to Special Education. Toronto: Little, Brown and Company.h. 230.
[3]Heward, W. L. and Orlansky. (1988). Exceptional Children: An Introductory Survey of Special Education. Ohio: Merril Publishing Company. h.317.
[4] Horton, J. K.. (1986). Community Based Rehabilitation of The Rural Blind (A Training Guide for Field Workers). New York, USA: Helen Keller Internasional, Inc. h .9.

Minggu, 02 Oktober 2016

TUNANETRA DAN KESELAMATAN JALAN




Dwitya Sobat Ady Dharma
Berbagai macam kebijakan terkait penyandang cacat sangat penting disosialisasikan karena penyandang cacat netra di Indonesia tak sedikit jumlahnya. Menurut data (2010), jumlah tunanetra mencapai 1,5% dari total penduduk Indonesia, atau sekitar 3.300.000 orang. Jumlah tersebut belum termasuk tunanetra low vision dan penyandang dengan penyakit mata degeneratif yang tak terdata. 

Hilangnya kemampuan indra penglihatan yang sangat penting ini akan meningkatkan risiko ketika berada di tempat padat kendaraan. Hal ini dikarenakan penglihatan merupakan indra pemadu yang kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Seorang tunanetra terpaksa bergantung pada indra pendengaran dan perabaan untuk dapat mengakses lingkungan. Hal ini pun diperparah dengan fasilitas penunjang keselamatan tunanetra yang disalahgunakan, misalnya saja trotoar dengan konblok khusus yang malah digunakan untuk berdagang, bahkan digunakan sebagai tempat parkir. Keadaan ini semakin tak kunjung terselesaikan karena masyarakat pun kurang paham dengan fasilitas-fasilitas penyandang cacat dan tanda-tanda khusus untuk penyandang cacat.

Ketidakberdayaan ini disebabkan ketidakpedulian masyarakat terhadap eksistensi penyandang tunanetra. Ada beberapa fakta yang muncul yaitu masyarakat tidak mengetahui adanya fasilitas khusus bagi penyandang tunanetra, masyarakat kurang peduli dengan eksistensi penyandang tunanetra dan masyarakat kurang memprioritaskan penyandang tunanetra apabila di tempat padat kendaraan.   

Sesuai dengan “Decade of Action for Road Safety” yang dicetuskan oleh PBB, Indonesia telah merumuskan “Pencanangan Aksi keselamatan Jalan Indonesia” dengan pengesahan “Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan” yang menargetkan penurunan tingkat kecelakaan. Pada Resolusi PBB no. 64/255 butir 7 diamanatkan kepada setiap negara anggota PBB untuk menetapkan targetnya masing-masing. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap negara harus melindungi warga negaranya untuk selamat di jalan raya tak terkecuali bagi warga penyandang tunanetra.

Perihal lalu lintas dan angkutan jalan bagi difabel sebenarnya  telah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009. Menurut UU baru ini, peran instansi bidang pengelolaan dan rekayasa teknik lalulintas telah ditetapkan. Berbagai macam pasal yang terkait dengan hak dan kewajiban penyandang cacat dalam memakai fasilitas umum di jalan raya antara lain fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.

Pemerintah Daerah  dan Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, wanita hamil dan orang sakit. Perlakuan khusus ini meliputi aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan. Berdasarkan undang-undang tersebut, masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kamis, 29 September 2016

MEMPERLUAS AKSES KESELAMATAN BAGI DIFABEL NETRA kEWAJIBAN SIAPA ?



Dwitya Sobat Ady Dharma 
Difabel seringkali terlupakan saat gempa melanda. Padahal, jumlah penyandang tunanetra di tanah air lumayan besar. Hasil Susenas tahun 2009 menunjukan bahwa dari 2,13 juta penyandang disabilitas, 339.309 orang adalah penyandang tunanetra dengan komposisi 180.009 penyandang tuna netra laki-laki dan 159.300 penyandang tunanetra perempuan. Bila dianalisis lebih mendalam, data Susesnas tahun 2009 menunjukan bahwa persentase penyandang disabilitas usia 10 tahun ke  atas, termasuk tunanetra laki-laki dan perempuan yang belum kawin cukup besar masing-masing 49,12 dan 45,04 persen.[1]

Dalam naskah Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Cacat (Convention on The Rights of Person with Disabilities) tahun 2007 disebutkan, “....kecacatan adalah hasil dari interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang menghalangi peran serta mereka di dalam masyarakat....” sehingga istilah cacat terbentuk karena interaksi dan lantas terciptalah istilah-istilah untuk mendefinisikan orang-orang yang berbeda itu. Bahasa memang terus berkembang, begitu pula untuk difabel. Beberapa frasa yang tidak diskriminatif akan meningkatkan martabat dan menjauhkan dari pandangan negatif. Gunakan istilah “penyandang cacat” daripada “orang cacat”[2], atau penyandang tunanetra daripada orang buta. Menurut Amin Abdullah (2010) istilah ini sebelumnya lebih dikenal dengan disabel (disable; tidak mampu), tapi kemudian dikoreksi dan disempurnakan menjadi difabel (different ability).[3]
 
Pergeseran istilah ini sejalan dengan perkembangan pengakuan hak keadilan yang pada masa lalu dipandang dari kondisi kelainannya. Sekarang istilah ini lebih menekankan pada perbedaan kemampuan individu. Kirk (2008)[4] pun menambahkan, anak-anak hanya dianggap difabel apabila memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan.

Tanpa perlu mengedepankan angka statistik, realitas di masyarakat pun sangat minim memperlihatkan kepedulian kepada tunanetra. Misalnya masyarakat yang belum mau berbagi jalan di trotoar walau sudah ada jalur khusus bagi tunanetra. Bahkan dari tempat ibadah pun masih belum dapat memberikan kenyamanan, misalnya saja tempat wudhu dengan kolam bahkan tangga yang terlalu curam. Kondisi ini juga diperparah oleh ketidakberpihakan kebijakan-kebijakan publik yang diskriminasi dan terkesan menjauhi tunanetra. Persoalan ini bermuara pada lingkungan sekitar dan masyarakat, tinggal bagaimana saat ini kita semua membuat rencana cerdas dalam meningkatkan harkat martabat tunanetra. Tunanetra hari ini terjepit dalam ketidakberdayaan struktural yang berakibat pada akses keselamatan saat gempa jarang mereka dapatkan.


[2] Handicap International. (2007). Etiket Berinteraksi dengan Penyandang Cacat. h.13.
[3] Amin Abdullah. (2010). Perguruan Tinggi Agama (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka News Edisi VII No. 32/ Maret-April , h. 22.
[4] Jamila Muhammad. (2008). Special Education for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah. h. 37.

MEMPERLUAS AKSES KESELAMATAN BAGI DIFABEL NETRA kEWAJIBAN SIAPA ?



Dwitya Sobat Ady Dharma 
Difabel seringkali terlupakan saat gempa melanda. Padahal, jumlah penyandang tunanetra di tanah air lumayan besar. Hasil Susenas tahun 2009 menunjukan bahwa dari 2,13 juta penyandang disabilitas, 339.309 orang adalah penyandang tunanetra dengan komposisi 180.009 penyandang tuna netra laki-laki dan 159.300 penyandang tunanetra perempuan. Bila dianalisis lebih mendalam, data Susesnas tahun 2009 menunjukan bahwa persentase penyandang disabilitas usia 10 tahun ke  atas, termasuk tunanetra laki-laki dan perempuan yang belum kawin cukup besar masing-masing 49,12 dan 45,04 persen.[1]

Dalam naskah Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Cacat (Convention on The Rights of Person with Disabilities) tahun 2007 disebutkan, “....kecacatan adalah hasil dari interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang menghalangi peran serta mereka di dalam masyarakat....” sehingga istilah cacat terbentuk karena interaksi dan lantas terciptalah istilah-istilah untuk mendefinisikan orang-orang yang berbeda itu. Bahasa memang terus berkembang, begitu pula untuk difabel. Beberapa frasa yang tidak diskriminatif akan meningkatkan martabat dan menjauhkan dari pandangan negatif. Gunakan istilah “penyandang cacat” daripada “orang cacat”[2], atau penyandang tunanetra daripada orang buta. Menurut Amin Abdullah (2010) istilah ini sebelumnya lebih dikenal dengan disabel (disable; tidak mampu), tapi kemudian dikoreksi dan disempurnakan menjadi difabel (different ability).[3]
 
Pergeseran istilah ini sejalan dengan perkembangan pengakuan hak keadilan yang pada masa lalu dipandang dari kondisi kelainannya. Sekarang istilah ini lebih menekankan pada perbedaan kemampuan individu. Kirk (2008)[4] pun menambahkan, anak-anak hanya dianggap difabel apabila memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan.

Tanpa perlu mengedepankan angka statistik, realitas di masyarakat pun sangat minim memperlihatkan kepedulian kepada tunanetra. Misalnya masyarakat yang belum mau berbagi jalan di trotoar walau sudah ada jalur khusus bagi tunanetra. Bahkan dari tempat ibadah pun masih belum dapat memberikan kenyamanan, misalnya saja tempat wudhu dengan kolam bahkan tangga yang terlalu curam. Kondisi ini juga diperparah oleh ketidakberpihakan kebijakan-kebijakan publik yang diskriminasi dan terkesan menjauhi tunanetra. Persoalan ini bermuara pada lingkungan sekitar dan masyarakat, tinggal bagaimana saat ini kita semua membuat rencana cerdas dalam meningkatkan harkat martabat tunanetra. Tunanetra hari ini terjepit dalam ketidakberdayaan struktural yang berakibat pada akses keselamatan saat gempa jarang mereka dapatkan.


[2] Handicap International. (2007). Etiket Berinteraksi dengan Penyandang Cacat. h.13.
[3] Amin Abdullah. (2010). Perguruan Tinggi Agama (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka News Edisi VII No. 32/ Maret-April , h. 22.
[4] Jamila Muhammad. (2008). Special Education for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah. h. 37.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...