Senin, 13 Januari 2020

Inklusi Multikultur: Kiblat Baru Pendidikan ABK (oleh Dwitya Sobat Ady Dharma, M.Pd.)



Keadaan sosial yang semakin beragam di ruang kelas memiliki fungsi yang strategis untuk mengembangkan toleransi, sekaligus manjadi tantangan besar bagi pendidik. Tantangan ini dapat berupa bagaimana merancang kurikulum yang mengakomodasi keberagaman sehingga dapat menciptakan kultur sekolah yang kondusif. Tantangan lain berupa tidak pekanya warga sekolah berinteraksi dengan siswa ABK, pendidik yang kebingungan dalam merancang materi, maupun warga sekolah yang masih bersifat primordial sempit dan kesukuan.
Jika dipahami, tantangan akan keberagaman yang semakin tinggi wajar terjadi, namun akan menjadi ancaman besar apabila sekolah tak mampu merespon dengan bijak. Institusi pendidikan yang masih belum dapat mengelola keberagaman hampir membawa dampak negatif bagi peserta didik. Hasilnya cukup mengerikan, peserta didik kurang memiliki toleransi dalam berbagai hal, masih melakukan diskriminasi pada kelompok minoritas, dan bersikap ekstrem.

 Tantangan Keberagaman
Sebagai negara yang majemuk, institusi pendidikan pun tak lepas dari nuansa keberagaman. Bukan hanya terkait dengan kebutuhan khusus, namun juga dari suku, ras, agama, status sosial ekonomi, maupun pandangan hidup. Terlepas dari latar belakang yang berbeda, keberhasilan pendidik dalam mengelola kelas yang beraneka ragam tergantung dari cara pandang guru dalam merespon perbedaan.
Apabila dicermati, usaha-usaha menumbuhkan semangat keberagaman di sekolah inklusi masih bersifat sempit. Konsep yang diusung masih bersifat dikotomi antara siswa reguler dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sekolah yang masih menempatkan siswa ABK sebagai pihak yang berbeda dan dikasihani, tidak akan membangun rasa toleransi yang pada akhirnya akan mencederai keberagaman.
Munculnya keadaan ini disebabkan karena sistem pendidikan masih mengotak-kotakkan peserta didik berdasarkan perbedaan, sehingga akan tercipta istilah anak inklusi dan siswa reguler. Pandangan ini kurang tepat karena pada dasarnya setiap anak adalah unik dan pasti membutuhkan penanganan yang berbeda. Apabila stigma ini masih melekat kuat, sekolah seolah-olah mendapatkan beban ketika ada ABK yang mendaftar. Keadaan ini bisa diurai dengan mengubah pola pikir sempit menjadi pola pikir inklusif dan kemanusiaan.

Inklusi Multikultur
Kita harus merubah cara pandang bahwa pendidikan inklusi bukan hanya terkait dengan ABK dan non-ABK. Salamanca Statement (1994) sangat jelas menyebutkan bahwa pendidikan inklusi yang dilaksanakan mencakup semua kondisi anak baik fisik, intelektual, sosial ekonomi, linguistik, dari penyandang disabilitas maupun anak berbakat, anak jalanan dan pekerja, anak dari populasi terpencil, etnis minoritas atau anak yang berasal dari daerah konflik dan perang.
Semangat inklusi didasari pikiran terbuka sebagai respons pada peningkatan keanekaragaman populasi dan kesetaran pada semua kelompok. Pendidikan inklusi harus diterjemahkan dalam segala kegiatan berwawasan multikultural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai individu yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik (ABK).
Pendidik sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan inklusi multikultur harus mampu merancang pembelajaran yang bermakna, tidak sekedar materi, memberi kesempatan peserta didik membuat keputusan untuk dirinya sendiri, bermanfaat bagi lingkungan sosial, dan lingkungan alam. Untuk merancang pembelajaran dan kultur sekolah yang inklusif, harus ada kerjasama yang masif dari sekolah, stakeholder dan orang tua untuk menyiapkan kurikulum yang membuat kelas-kelas menjadi relevan secara budaya.

Strategi Penerapan
Implementasi pendidikan inklusi multikulur memiliki banyak strategi,  seperti mendorong ABK berprestasi dari berbagai bidang, festival lintas budaya dan agama, apresiasi seni, kuliner, maupun pembelajaran kolaboratif dan kooperatif.  Kegiatan dapat juga dilakukan dengan  menggabungkan budaya siswa dengan dunia sekolah sehingga kontekstual dengan dunia siswa.
Strategi penyisipan nilai-nilai inklusi multikultur dapat dilakukan dengan menghindari labelling saat pembelajaran, tidak bersikap diskriminatif pada siswa minoritas, menunjukkan sikap menghargai lintas budaya dan agama, serta toleransi.  Beberapa keunggulan dari penyisipan nilai inklusi multikultur dalam kultur sekolah adalah siswa dapat menjalin kontak pribadi yang positif dengan siswa yang beragam, siswa dapat terlibat dalam pengambilan perspektif, dan dapat mengurangi stereotip pada  kelompok-kelompok tertentu, misalnya penyandang disabilitas.
Karenanya, perlu ada revitalisasi pendidikan inklusi multikultur yang memandang keberagaman tidak hanya dari siswa ABK dan non-ABK, namun juga dapat merespon segala bentuk keberagaman. 

(dimuat di harian Kedaulatan Rakyat 5 Desember 2019)

1 komentar:

Lih Galih mengatakan...

Sepakat dengan tulisan di atas. Sekolah sebagai suatu system. Lima sistem ini diterapkan dalam perilaku pengajaran dan pembelajaran, apabila direfleksi kelima unsur ini dikaitkan dalam aplikasi kegiatan pengajaran dan pembelajaran yang menciptakan belajar sepanjang hayat. Disampaikan oleh Hoy (2001) sistem pendidikan meliputi: 1) proses kegiatan belajar mengajar, 2)struktur sekolah,3) iklim dan budaya sekolah, 4) setiap individu kekuasaan politik di sekolah, 5) kualitas dan aktivitas sekolah,6) pemangku jabatan, 7) komunikasi dan, 8) kepemimpinan. Tujuan pembelajaran menjadi tonggak utama dalam pelaksanaan pembelajaran, serta pengembangan lebih lanjut di penilaian pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Sekolah yang efektif dibutuhkan guru pembelajar dan mampu menjadi fasilitator siswa pembelajar sepanjang hayat.

school mapping hazard mutlak disosialisasikan kepada penyandang disabilitas di daerah rawan bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 adalah membangun bangsa dan masyarakat...