Keadaan
sosial yang semakin beragam di ruang kelas memiliki fungsi yang strategis untuk
mengembangkan toleransi, sekaligus manjadi tantangan besar bagi pendidik. Tantangan
ini dapat berupa bagaimana merancang kurikulum yang mengakomodasi keberagaman
sehingga dapat menciptakan kultur sekolah yang kondusif. Tantangan lain berupa
tidak pekanya warga sekolah berinteraksi dengan siswa ABK, pendidik yang
kebingungan dalam merancang materi, maupun warga sekolah yang masih bersifat
primordial sempit dan kesukuan.
Jika
dipahami, tantangan akan keberagaman yang semakin tinggi wajar terjadi, namun
akan menjadi ancaman besar apabila sekolah tak mampu merespon dengan bijak. Institusi pendidikan yang masih belum dapat mengelola keberagaman
hampir membawa dampak negatif bagi
peserta didik. Hasilnya
cukup mengerikan, peserta didik kurang memiliki toleransi dalam berbagai hal, masih
melakukan diskriminasi pada kelompok
minoritas, dan bersikap ekstrem.
Tantangan
Keberagaman
Sebagai
negara yang majemuk, institusi pendidikan pun tak lepas dari nuansa
keberagaman. Bukan hanya terkait dengan kebutuhan khusus, namun juga dari suku,
ras, agama, status sosial ekonomi, maupun pandangan hidup. Terlepas dari latar
belakang yang berbeda, keberhasilan pendidik dalam mengelola kelas yang
beraneka ragam tergantung dari cara pandang guru dalam merespon perbedaan.
Apabila dicermati, usaha-usaha menumbuhkan
semangat keberagaman di sekolah
inklusi masih bersifat sempit. Konsep yang diusung masih bersifat dikotomi
antara siswa reguler dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sekolah yang masih
menempatkan siswa ABK sebagai pihak yang berbeda dan dikasihani, tidak akan
membangun rasa toleransi yang pada akhirnya akan mencederai keberagaman.
Munculnya
keadaan ini disebabkan karena sistem pendidikan masih mengotak-kotakkan peserta
didik berdasarkan perbedaan, sehingga akan tercipta istilah anak inklusi dan
siswa reguler. Pandangan ini kurang tepat karena pada dasarnya setiap anak
adalah unik dan pasti membutuhkan penanganan yang berbeda. Apabila stigma ini
masih melekat kuat, sekolah seolah-olah mendapatkan beban ketika ada ABK yang
mendaftar. Keadaan ini bisa diurai dengan mengubah pola pikir sempit menjadi pola
pikir inklusif dan kemanusiaan.
Inklusi Multikultur
Kita
harus merubah cara pandang bahwa pendidikan inklusi bukan hanya terkait dengan
ABK dan non-ABK. Salamanca
Statement (1994) sangat jelas menyebutkan bahwa pendidikan inklusi yang dilaksanakan mencakup semua kondisi anak baik fisik, intelektual, sosial
ekonomi, linguistik, dari
penyandang disabilitas maupun anak berbakat, anak
jalanan dan pekerja, anak dari populasi terpencil, etnis minoritas atau anak
yang berasal dari daerah
konflik dan perang.
Semangat inklusi didasari pikiran terbuka sebagai respons pada peningkatan keanekaragaman populasi dan
kesetaran pada semua kelompok. Pendidikan inklusi harus diterjemahkan dalam segala
kegiatan berwawasan multikultural yang dapat membantu peserta didik
mengerti, menerima, serta menghargai individu yang berbeda suku, budaya, nilai,
kepribadian, dan
keberfungsian fisik (ABK).
Pendidik sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan inklusi
multikultur harus
mampu merancang pembelajaran yang bermakna, tidak sekedar materi, memberi kesempatan peserta didik membuat
keputusan untuk dirinya sendiri, bermanfaat bagi lingkungan sosial, dan
lingkungan alam. Untuk
merancang pembelajaran dan kultur sekolah yang inklusif, harus ada kerjasama
yang masif dari sekolah, stakeholder
dan orang tua untuk menyiapkan kurikulum yang membuat kelas-kelas
menjadi relevan secara
budaya.
Strategi Penerapan
Implementasi
pendidikan inklusi multikulur memiliki banyak strategi, seperti mendorong
ABK berprestasi dari berbagai bidang, festival lintas budaya dan agama,
apresiasi seni, kuliner, maupun pembelajaran kolaboratif dan kooperatif. Kegiatan dapat juga dilakukan dengan menggabungkan budaya siswa dengan dunia sekolah sehingga kontekstual dengan dunia
siswa.
Strategi
penyisipan nilai-nilai inklusi multikultur dapat dilakukan dengan menghindari labelling saat pembelajaran, tidak
bersikap diskriminatif pada siswa minoritas, menunjukkan sikap menghargai
lintas budaya dan agama, serta toleransi.
Beberapa keunggulan dari penyisipan nilai inklusi multikultur dalam kultur sekolah adalah siswa dapat menjalin kontak pribadi yang positif dengan
siswa yang beragam, siswa dapat terlibat dalam pengambilan perspektif, dan dapat
mengurangi stereotip pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya penyandang disabilitas.
Karenanya,
perlu ada revitalisasi pendidikan inklusi multikultur yang memandang
keberagaman tidak hanya dari siswa ABK dan non-ABK, namun juga dapat merespon
segala bentuk keberagaman.
(dimuat di harian Kedaulatan Rakyat 5 Desember 2019)
1 komentar:
Sepakat dengan tulisan di atas. Sekolah sebagai suatu system. Lima sistem ini diterapkan dalam perilaku pengajaran dan pembelajaran, apabila direfleksi kelima unsur ini dikaitkan dalam aplikasi kegiatan pengajaran dan pembelajaran yang menciptakan belajar sepanjang hayat. Disampaikan oleh Hoy (2001) sistem pendidikan meliputi: 1) proses kegiatan belajar mengajar, 2)struktur sekolah,3) iklim dan budaya sekolah, 4) setiap individu kekuasaan politik di sekolah, 5) kualitas dan aktivitas sekolah,6) pemangku jabatan, 7) komunikasi dan, 8) kepemimpinan. Tujuan pembelajaran menjadi tonggak utama dalam pelaksanaan pembelajaran, serta pengembangan lebih lanjut di penilaian pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Sekolah yang efektif dibutuhkan guru pembelajar dan mampu menjadi fasilitator siswa pembelajar sepanjang hayat.
Posting Komentar