Berbicara tentang pendidikan inklusi berarti kita akan membahas sesuatu yang sangat panjang. Sejarah mencatat Sekolah Khusus bagi ABK pertama di indonesia didirikan tahun 1901 di Bandung, yang kemudian diikuti oleh pendirian sekolah-sekolah khusus lain. Kecenderungan SLB-SLB ini mendidik anak dengan cara yang sangat khusus dan terkesan terpisah dari dunia luar. Bahkan sebelum ada sekolah khusus ini, nasib anak-anak berkebutuhan khusus sangat memprihatikan, ada yang dibuang, di dipasung, dikurung dan lain-lain. Sampai akhirnya mulai bermunculan deklarasi-deklarasi dunia yang memperjuangkan anak-hak seluruh anak, misalnya Deklarasi HAK Asasi Manusia 1948, konvensi hak anak 1989, sampai yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah Salamanca Statment yang diselenggarakan tahun 1994.
Dalam deklarasi ini, disebutkan konsep inklusi , bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mencakup semua kondisi anak baik fisik, intelektual, sosial ekonomi, linguistik, dari penyandang cacat maupun anak berbakat, anak jalanan dan pekerja, anak dari populasi terpencil, etnis minoritas atau anak yang berasal dari daerah kurang beruntung.
Namun kemudian trend yang terjadi di Indonesia, pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler.
Trend ini terjadi, bukan berarti indonesia tidak memperhatikan anak-anak di luar anak ABK dan reguler, namun anak-anak lain akan dilayani oleh pendidikan layanan khusus.
Nah, di masa Nadiem Makarim, beliau mengeluarkan merdeka belajar. Merdeka belajar ini meumuat empat kebijakan. Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), kedua, Ujian Nasional ( UN), ketiga, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan keempat Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dalam kebijakan Zonasi, sesuatu yang bisa jadi relevan dengan kita adalah dalam zonasi ada slot kuota ABK di sekolah inklusi. Adapun salah satu contoh yang saya tampilkan adalah kebijakan di Kota Jogja yang memiliki kuota 5%. Ini bisa jadi berbeda di tiap-tiap daerah sehingga kewajiban bagi bapak-ibu untuk proaktif menanyakan dalam dinas pendidikan setempat.
Bapak ibu, pemenuhan hak anak-anak berkebutuhan khusus di indonesia ketika kita amati semakin hari semakin menuju ke arah yang baik. Salah satunya adalah pp no 13 tahun 2020. PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 yang secara umum mengatur tentang pendidikan inklusif. Ada point penting dalam PP tersebut, yaitu • Kebijakan penyiapan guru yang lebih serius (misalnya sekarang dalam jurusan kependidikan anak mata kuliah pendidikan inklusi, penyediaan gpk, dan pelatihan), Penguatan hak difabel dalam mengakses Pendidikan (dukungan kurikulum), pengaturan mengenai Unit Layanan Difabel, Ketersediaan sangsi administratif bagi pihak-pihak yang tidak menaati peraturan tersebut.
Dalam pandangan saya, berbagai macam kebijakan yang ada merupakan suatu usaha untuk memenuhi hak-hak warga negara dalam pendidikan. setiap anak berhak belajar dimana saja, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan, dan apabila anak belajar di sekolah penyelanggara pendidikan inklusi, harapnnya akan bebas diskriminasi.
Bapak ibu yang saya hormati, meskipun sekarang digembor-gemborkan merdeka belajar, belajar bisa dimana saja, bisa bebas pilih-pilih sekolah, namun bagi anak ASD, harus tetap diperhatikan beberapa hal. ASD membutuhkan pendampingan yang sangat intensif di awal-awal ia belajar, ASD juga membutuhkan layanan belajar berbagai macam keterampilan (misalnya komunikasi, konseptual/ akademis), yang mengarah pada kemandirian hidup. dan Perlu bapak ibu ketahui, sesuatu yang harus dipelajari dan dilatih kpd anak-anak ASD sangat banyak, sehingga biasanya keterampilan kemandirian hidup ini akan lebih efektif dan efisien ketika terintegrasi dalam kurikulum pendidikannya.
Sehingga, jangan latah dalam memilih pendidikan bagi ASD. Misal, ada tetangga yang memasukkan anaknya di Sekolah Luar Biasa, terus Ibu-bapak juga memasukkan ananda ke SLB. Atau ada teman yang memasukkan anandannya ke sekolah inklusi, terus ikut ikutan ke sekolah inklusi. Ingat! Setiap anak memiliki karakteristk masing-masing. Untuk menentukan jenis sekolah mana yang cocok, kita dapat melihat dari empat sisi.
Pertama dari Anak: kita sebisa mungkin dan harus memahami kondisi kemampuan anak. Apabila anak belum mampu menguasai toilet training, sering tantrum, belum mampu mengikuti instruskis mandiri, maka bapak ibu bisa berpikir lagi apabila ingin memasukkan anak ke sekolah inklusi. Namun apabila anak sudah memiliki kemampuan yang melebihi kemampuan rata-rata, sekolah inklusi bisa jadi akan menjadi tempat yang tepat untuk mengembangkan kemampuan lainnya secara dramatis.
Kedua, kesiapan sekolah: sebagai penyelenggara layanan pendidikan, sekolah inklusi dan sekolah khusus memiliki perbedaan yang mendasar. Jangan asal inklusi...kita harus tahu sistem sekolah, kesiapan sekolah, mulai dari kesiapan guru, kurikulum, media, materi, gpk.
Jangan juga asal SLB juga. Kita harus tahu programnya. Jangan sampai ananda masuk ke SLB namun programnya tidak inovatif, nanti kita bisa rugi sendiri.
saya secara pribadi tidak mengarahkan anak ini harus ke inklusi...anak ini harus ke SLB,,, ya karena setiap penyelanggara pendidikan memiliki kualitas masing-masing.
Ketiga dan keempat, keluarga dan lingkungan: anak-anak harus mendapatkan dukungan dari lingkungan dan keluarga. Dukungan ini bisa dilihat dari kemampuan finansial, dukungan moral, transportasi, maupun jarak.
Dari keempat hal tersebut, bapak ibu dapat mengukur kondisi yang sebenarnya sehingga dapat menentukan ananda akan dimasukann dalam sekolah yang mana.