Dwitya Sobat Ady Dharma
Difabel seringkali terlupakan saat gempa melanda. Padahal,
jumlah penyandang tunanetra di tanah air lumayan besar. Hasil
Susenas tahun 2009 menunjukan
bahwa dari 2,13 juta penyandang disabilitas, 339.309 orang adalah penyandang tunanetra
dengan komposisi 180.009 penyandang tuna netra laki-laki dan 159.300 penyandang
tunanetra perempuan. Bila
dianalisis lebih mendalam, data Susesnas tahun 2009 menunjukan
bahwa persentase penyandang disabilitas usia 10 tahun ke atas,
termasuk tunanetra laki-laki dan perempuan yang belum kawin cukup besar
masing-masing 49,12 dan 45,04 persen.[1]
Dalam naskah Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Cacat (Convention
on The Rights of Person with Disabilities) tahun 2007 disebutkan,
“....kecacatan adalah hasil dari interaksi antara orang-orang yang tidak
sempurna secara fisik dan mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang
menghalangi peran serta mereka di dalam masyarakat....” sehingga istilah cacat
terbentuk karena interaksi dan lantas terciptalah istilah-istilah untuk
mendefinisikan orang-orang yang berbeda itu. Bahasa memang terus berkembang,
begitu pula untuk difabel. Beberapa frasa yang tidak diskriminatif akan
meningkatkan martabat dan menjauhkan dari pandangan negatif. Gunakan istilah
“penyandang cacat” daripada “orang cacat”[2],
atau penyandang tunanetra daripada orang buta. Menurut Amin Abdullah (2010) istilah ini sebelumnya lebih dikenal
dengan disabel (disable; tidak mampu), tapi kemudian dikoreksi dan
disempurnakan menjadi difabel (different
ability).[3]
Pergeseran istilah ini
sejalan dengan perkembangan pengakuan hak keadilan yang pada masa lalu
dipandang dari kondisi kelainannya. Sekarang istilah ini lebih menekankan pada
perbedaan kemampuan individu. Kirk (2008)[4] pun menambahkan,
anak-anak hanya dianggap difabel apabila memiliki kebutuhan khusus untuk
menyesuaikan program pendidikan.
Tanpa
perlu mengedepankan angka statistik, realitas di masyarakat pun sangat minim
memperlihatkan kepedulian kepada tunanetra. Misalnya masyarakat yang belum mau
berbagi jalan di trotoar walau sudah ada jalur khusus bagi tunanetra. Bahkan
dari tempat ibadah pun masih belum dapat memberikan kenyamanan, misalnya saja
tempat wudhu dengan kolam bahkan tangga yang terlalu curam. Kondisi ini juga
diperparah oleh ketidakberpihakan kebijakan-kebijakan publik yang diskriminasi
dan terkesan menjauhi tunanetra. Persoalan ini bermuara pada lingkungan sekitar
dan masyarakat, tinggal bagaimana saat ini kita semua membuat rencana cerdas
dalam meningkatkan harkat martabat tunanetra. Tunanetra hari ini terjepit dalam
ketidakberdayaan struktural yang berakibat pada akses keselamatan saat gempa
jarang mereka dapatkan.
[1] Untuk lebih jelas, dapat dikases di http://pertuni.idp-europe.org/Rakernas2011/Rakernas2011
keynote_Menteri_Pemberdayaan_Perempuan.php
[2] Handicap International. (2007). Etiket Berinteraksi dengan Penyandang
Cacat. h.13.
[3] Amin Abdullah. (2010). Perguruan
Tinggi Agama (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka News Edisi VII
No. 32/ Maret-April , h. 22.
[4] Jamila Muhammad. (2008). Special
Education for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah. h. 37.