Secara teoritis, kelainan pada mata seperti
kebutaan
terjadi bila ketajaman penglihatan lebih buruk dari 20/200, meskipun telah
dibantu dengan kacamata maupun lensa kontak sekalipun dan
memiliki diameter bidang penglihatan yang paling lebar membentuk sudut tidak
lebih dari duapuluh derajat. Hal
ini sesuai dengan pernyataan American Foundation for The Blind dalam Blackhust&Berdine (1981:
216) yang menyebutkan
bahwa “Legally blind children are defined as (1) those whose visual acuity
is 20/200 or less in the better eye with the best possible correction, or (2)
those whose field or vision is restricted to an angle subtending an are of 20
degrees or less.”
Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra) adalah anak
yang mengalami gangguan daya penglihataan, sehingga
membutuhkaan layanan khusus dalam
pendidikan maupun kehidupan. Layanan khusus dalam pendidikan bagi ATN, yaitu dalam membaca menulis
dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi ATN total, dan bagi yang
masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak yang
besar, media yang dapat diraba dan didengar atau diperbesar. Di samping itu
diperlukan latihan orientasi dan mobilitas.
Dalam pembelajaran
anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip Individual
Prinsip individual
adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum)
guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam
pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas
dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia,
kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, ATN
menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya
(tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan,
dampak sosial-psikologis akibat kecacatan). Secara umum, harus ada
beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang
buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya
guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak.
Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman Penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh
guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari
apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman
penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan
visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang
sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan.
Strategi
pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau
situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium,
mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini
sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran.
Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran
yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan
disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru
haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi
secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua
pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam
bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua
alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk
mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan
untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan.
ATN harus
memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin
juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai
burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang
hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya
penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk
mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa
diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab
itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan
atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar
mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu
memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya
untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus
memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat.
Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai,
dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta,
konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak
menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
Kebutuhan pembelajaran anak tunanetra
Karena keterbatasan anak tunanetra seperti tersebut di atas maka
pembelajaran bagi mereka mengacu pada prinsif- prinsif sebagai beikut:
a.
Kebutuhan akan pengalaman konkrit.
b.
Kebutuhan akan pengalaman yang terintegrasi.
c.
Kebutuhan dalam berbuat dan bekerja dalam belajar
Media belajar anak tunanetra dikelompokan menjadi dua yaitu:
a. Kelompok tunanetra total dengan media baca tulis huruf Braille.
b. Kelompok low vision dengan media baca tulis biasa yang diperbesar [misalnya hurup diperbesar dan
menggunakan alat pembesar.
(diolah dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar